Minggu, 17 Desember 2017

Narkoba Jenis Baru

 Flakka narkoba jenis baru yang penggunaannya mulai ramai diberitakan pada 2015, memiliki efek yang mengerikan. Flaka berbentuk seperti potongan kristal putih seukuran kerikil di dalam akuarium, sehingga di beberapa negara, flakka disebut sebagai gravel atau kerikil. Obat ini dibuat menyerupai kokain namun jauh lebih berbahaya dibandingkan kokain.
Penggunaan obat ini dilakukan dengan cara diisap, disuntikkan, ditelan atau dihirup. Zat pengubah pikiran ini, dikaitkan dengan masalah perilaku serius dan terkadang mematikan. Di Amerika Serikat, misalnya, dikabarkan seorang polisi menahan pria yang mengonsumsi flakka, berlari melintasi persimpangan dengan tubuh telanjang. Pria itu mengaku melarikan diri dari orang-orang imajiner yang sednag mengejarkan.
Ada pula laporan seorang pria pengonsumsi flakka yang menusuk dirinya dengan pagar dan ada yang tertangkap kamera mencoba menendang pintu kaca markas besar polisi Florida Fort Lauderdale.
Flaka terbuat dari senyawa yang disebut alpha-PVP, sepupu kimiawi cathinone, obat mirip amfetamin atau kokain. Penggunaan berlebihan dari obat ini dikaitkan dengan perasaan cemas, paranoia, dan halusinasi yang ekstrim. Pada dosis tinggi, flakka dapat menyebabkan tubuh mencapai suhu tinggi. Suhu yang berlebihan ini dapat menyebabkan komplikasi fisik yang parah seperti kerusakan ginjal dan otot.
Sementara Mirror menuliskan, efek yang ditimbulkan oleh flakka membuat penggunanya menjadi ketakutan. Seperti yang dialami seorang pria berusia 42 tahun, dengan tubuh telanjang, menggeliat ketakutan di kursi belakang mobilnya sambil berteriak "tolong saya".
Menurut Mirror, flakka adalah obat sintetis murah yang diimpor dari Tiongkok.Flaka menyebabkan perilaku layaknya "zombie" dalam film horor, yang menimbulkan efek agresif, delusi sebagai "superhuman" dan kemarahan serta halusinasi dan paranoia.
"Sebuah zat yang memiliki efek halusinogen akut dan juga menyebabkan agresi yang cukup besar. Kita tidak tahu apa obatnya saat ini, yang kita ketahui adalah kerusakan yang disebabkan oleh obat itu sangat besar," papar Kathleen Florian, asisten komisaris Komisi Kejahatan dan Korupsi Queensland, 
Flakka menyebabkan serangkaian insiden berbahaya di Amerika Serikat. Seorang pria telanjang mencoba menendang pintu departemen kepolisian di Florida karena mengira ada gerombolan orang yang berusaha membunuhnya.
Kenneth Crowder (41), berlari telanjang ke sebuah pohon. Ia meyakini dirinya sebagai "Dewa Norse" dan "Superhero Thor", lalu mencoba berhubungan seks dengan sebuah pohon. Saksi mata mengatakan, dia tampaknya memiliki "kekuatan super" karena bisa mengangkat seorang polisi meskipun saat itu polisi sudah menyetrumnya dengan alat.

Pandangan mengenai Polisi Profesional

andangan mengenai Polisi Profesional

Semua polisi seharusnya mempelajari dan memahami bahwa kepolisian yang sekarang ini adalah bentuk kepolisian modern yang didasari oleh pandangan-pandangan Sir Robert Peel. SRP mengubah cara pandang dan formasi kepolisian dari sebuah badan yang militeris, dogmatis dan otoriter, menjadi sebuah badan yang humanis. Polisi bertransformasi dari sebuah institusi yang menegakkan kekuasaan menjadi institusi yang menegakkan kebenaran.

Hal itu dilakukan SRP melalui revolusi kepolisian Inggris pada tahun 1829. SRP sendiri adalah seorang Menteri Dalam Negeri, Kementerian yang dalam Kerajaan Inggris Raya bertanggung jawab atas Kepolisian. Pada tahun 1829 itu SRP membentuk Kepolisian Metropolitan London, yang kemudian sangat diapresiasi oleh warga London. Kecintaan mereka kepada petugas Kepolisian Metro London ini ditandai dengan sebutan warga London yang akrab dan mencerminkan nama SRP di dalamnya, “Bobby”. Istilah itu bertahan hingga hari ini.

SRP mendapatkan keberhasilan mereformasi badan kepolisian dengan mengikuti prinsip-prinsip yang dirumuskannya. Prinsip-prinsip itu kemudian disebut sebagai dalam Prinsip Kepolisian Modern, atau juga disebut sebagai “Prinsip Kepolisian Peel”. Istilah “modern” ini merujuk pada perbedaan antara Kepolisian “non-modern” yang berkarakter sewenang-wenang dan tidak menghormati hak azasi manusia. Prinsip-prinsip Kepolisian Modern SRP itu adalah :

  1. The purpose of the police force is to prevent crime and maintain order. Tujuan dari satuan kepolisian adalah untuk mencegah kejahatan dan memelihara ketertiban.
  2. Police depend on the approval and trust of the public in order to effectively do their jobs. Polisi bergantung pada persetujuan dan kepercayaan publik untuk secara efektif melakukan tugasnya.
  3. The ultimate goal of policing is to achieve voluntary compliance with the law in the community. Tujuan akhir dari kegiatan kepolisian adalah untuk mendapatkan ketaatan terhadap hukum secara sukarela (membangun kesadaran hukum) dalam masyarakat.
  4. Police must be unwavering in their duties and adherence to the law, maintaining impartiality and avoiding the temptation to be swayed by public opinion. Polisi harus tegas dalam menjalankan tugasnya dan selalu berdasarkan hukum, menjaga ketidakberpihakan, dan menghindari hal-hal yang menyebabkan kepolisian dipermainkan oleh opini publik.
  5. The use of force and physical control is to be used as a last resort, only when other forms of persuasion have failed. Penggunaan kekerasan dan tindakan fisik adalah sebagai langkah terakhir apabila semua upaya persuasi tidak berhasil dilakukan.
  6. Police officers must remember that they, too, are members of the public and that their purpose is to serve and protect the public. Petugas kepolisian harus mengingat bahwa mereka juga adalah bagian dari masyarakat dan tujuan mereka adalah memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat.
  7. The true measure of the effectiveness of any police force is not the number of arrests or police actions taken, but the absence of criminal conduct and violations of the law. Keberhasilan dari semua satuan kepolisian tidak diukur dari jumlah penangkapan atau tindakan kepolisian yang dilakukan, tetapi hilangnya tindak kejahatan dan pelanggaran hukum.

Prinsip ini masih sangat relevan untuk diikuti. Banyak sekali badan kepolisian yang mengalami kesulitan, masalah, dan kemudian harus mengalami transformasi besar-besaran karena tidak mengikuti Prinsip Kepolisian Peel (PKP). SRP sendiri menjelaskan bahwa PKP ini diambil dari pembahasan tentang kata kerja “to police”, yang menjadi sebutan juga bagi organisasi dan orang yang melakukannya menjadi Police dan Police Officer.

Definisi kata “to police” itu lebih tinggi tingkatannya daripada kata “to watch” atau “to observe” dan lebih lunak daripada kata “to rule”. Makna harfiah kata to police sebenarnya tidak berbeda dari kata to watch atau to observe, yaitu mengamati atau memperhatikan. Karakter kata “to police” adalah mengamati tetapi sang pengamat diberikan kekuasaan untuk membenarkan atau menyalahkan obyek amatannya. Ada norma-norma yang digunakan sebagai acuan dalam pengamatannya, tidak sekedar mencari fenomena yang terjadi saja seperti makna pada kata to watch atau to observe, tetapi mengamati dan mengidentifikasi untuk kemudian melakukan tindakan. Namun demikian to police itu lebih lunak daripada kata to ruleTo rule artinya menguasai atau mengatur secara mutlak, secara kaku, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar secara letterlijk. Karakter kata kerja to police bisa melakukan tindakan tegas seperti to rule, tetapi juga bisa memberikan adjustment, penyesuaian yang dilakukan dalam rangka menguatkan peraturan; bukan melemahkan peraturan. To police tidak saja bertindak secara punitive tetapi juga bertindak secara “bijaksana”. Oleh karena itu karakter polisi adalah self-reporting dan discretion. Memberikan laporan dan pertanggunjawaban secara mandiri/ individual, dan memiliki diskresi dalam menjalankan kewenangannya.

Kepolisian yang didasari pada PKP tentu tidak diharapkan memiliki kultur militer yang berkarakter komando tunggal. Tentara tidak dibenarkan untuk melakukan diskresi tanpa persetujuan pejabat yang berwenang melakukan tindakan. Tentara juga tidak mungkin melakukan tindakan self-reporting; semuanya harus diatur dan berdasarkan perintah. Bahkan salah seorang Wakil Presiden RI pada pemerintahan Orde Baru, Try Soetrisno, menekankan bahwa disiplin militer itu tegak lurus, tidak ada anak buah yang salah karena kesalahan anak buah adalah kesalahan perintah atasannya. Jika hal itu dijadikan referensi, maka tidak mungkin ada mekanisme self-reporting dalam dunia militer. Apalagi diskresi.

Oleh karena itu kehidupan Kepolisian berbeda dengan kehidupan Militer. Pencampuran keduanya, seperti yang dilakukan Soekarno dan Suharto dalam wadah ABRI, adalah tindakan yang melemahkan keduanya; sang polisi menjadi terlalu keras, dan sang tentara menjadi terlalu lembek. Saya tidak perlu menjelaskan lagi apa itu terlalu keras dan terlalu lembek bagi standar keduanya. Dan itulah kondisi yang kita hadapi saat ini di bumi Indonesia tercinta.

Dalam kenyataannya banyak hal yang tidak bisa terduga sebelumnya untuk mencegah kejahatan karena kejahatan adalah bayangan dari peradaban. Semakin canggih suatu peradaban, semakin canggih pula kejahatannya. Polisi tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan pelaku kejahatan sebelum perbuatan terjadi sementara tindakan polisi dibatasi oleh serangkaian aturan. Perkembangan situasi yang terus berubah ini menggiring Kepolisian untuk berpikir pragmatis, bahwa mereka adalah penegak hukum sehingga terjerumus pada pola pikir yang legalistis. Polisi tidak lagi kembali pada karakter Kepolisian yaitu self-reporting dan discretion, tetapi menggunakan hukum sebagai perisai, bukan dasar, untuk melakukan tindakan. Akhirnya Kepolisian tidak lagi mencari approval and trust of the public, tetapi mencari justifikasi. Tidak berusaha mendapatkan voluntary compliance, tetapi mencari obedience. Dan disaat itulah Kepolisian kehilangan kewibawaannya di tengah masyarakat, apapun yang dilakukannya.

Diskresi dan laporan mandiri seharusnya menguatkan kepolisian, tetapi jika standar mutu organisasi kepolisian itu rendah keduanya bisa menjadi petaka dan menimbulkan permasalahan baru. Diskresi dan laporan mandiri akan menjadi apa yang disebut Sir David Omand sebagai strategic notice, pemberitahuan strategis kepada seluruh pemangku kepentingan dalam masyarakat itu; tidak terabaikan tentunya seluruh anggota masyarakat itu sendiri. Polisi akan menjadi informan yang baik bagi hal-hal yang tidak berjalan dengan baik di masyarakat, sehingga pihak-pihak yang berkompeten bisa melakukan tindakan segera. Tentunya hal ini mengandung konsekuensi bahwa Polisi harus bisa melaporkan hal yang benar dan dengan cara yang benar. Jika laporan-laporannya ternyata tidak bisa diverifikasi, maka tentu masyarakat menjadi tidak percaya pada Kepolisian.

Prosedur penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian

                                   Prosedur penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian                                     


Tahap I, kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan: dilakukan dengan menggelar atau menempatkan personel Polri dengan jumlah memadai sesuai tingkat ancaman yang dihadapi;


Tahap II, perintah lisan: dilakukan dengan cara mengimbau, memberi peringatan, dan memerintahkan untuk menghentikan tindakan massa atau para pelaku;


Tahap III, kendali tangan kosong lunak: dilakukan dengan menggunakan teknik yang tidak menyebabkan cedera yang dilakukan untuk menghadapi tindakan massa yang bersifat pasif (misalnya ketika petugas kepolisian memegang bahu atau memegang salah satu lengan seseorang untuk dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain);


  Tahap IV, kendali tangan kosong keras: dilakukan dengan menggunakan teknik yang dapat menyebabkan cedera ringan untuk menghadapi tindakan massa yang bersifat aktif (misalnya polisi memaksa seseorang untuk mematuhi perintahnya dengan cara menekan bagian tubuh tertentu, menarik, menjatuhkan, dan teknik memanipulasi persendian seperti memelintir tangan/jari);


Tahap V, kendali senjata tumpul atau tongkat polisi dan senjata kimia (semprotan air, gas air mata atau alat lain sesuai standar Polri): dilakukan dengan menggunakan teknik yang dapat menyebabkan cedera berat untuk menghadapi tindakan massa yang bersifat agresif (misalnya ketika Polisi menghalau atau membubarkan para pelaku/massa agar menjauh dari objek yang diamankan);


Tahap VI, kendali dengan menggunakan senjata api: dilakukan dengan menggunakan teknik yang dapat menyebabkan cedera serius, dilakukan untuk menghadapi tindakan massa yang bersifat agresif segera/anarki, dalam hal ini tindakan pelaku atau massa dapat menimbulkan bahaya ancaman luka parah atau kematian terhadap masyarakat atau anggota Polri atau dapat membahayakan keselamatan umum (misalnya menyerang masyarakat atau petugas dengan menggunakan senjata api atau senjata tajam, membakar stasiun pompa




bensin, meledakkan gardu listrik, meledakkan gudang senjata atau amunisi, atau menghancurkan objek vital);


Langkah penanganan konflik sosial

Langkah penanganan konflik sosial menurut Perkap no 8 tahun 2013

   
a)     Inventarisasi Potensi Konflik merupakan kegiatan yang dilakukan dengan mengumpulkan, mendatakan, dan mengelompokkan berbagai potensi konflik yang dapat bersumber dari:

(1)      Permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya;

(2)      Perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis;

(3)      Sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi;

(4)      Sengketa sumber daya alam antar masyarakat dan/atau antara masyarakat dengan pelaku usaha; atau

(5)      Distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.

b)     Penelitian/pendalaman potensi konflik dilakukan untuk mengetahui anatomi dan akar masalah potensi konflik dengan langkah-langkah sebagai berikut:

(1)      Memahami karakteristik masyarakat,
(2)      Mengumpulkan data untuk memetakan potensi konflik

(3)      Memetakan data potensi konflik dalam bentuk matrik

(4)      Melakukan analisis data dan permasalahan yang muncul ke permukaan untuk menemukan akar permasalahannya

c)      Menentukan skala prioritas potensi konflik yang didasari, antara lain:
(1)      Jenis potensi konflik;

(2)      Sumber potensi konflik;
(3)      Jumlah pihak yang terlibat; dan

(4)      Perkiraan dampak/akibat yang ditimbulkan dari konflik apabila konflik terjadi secara terbuka;


Penanganan skala prioritas potensi konflik dengan cara melakukan koordinasi dengan instansi terkait sesuai dengan potensi konflik yang sudah dipetakan untuk mencari solusi agar tidak berkembang menjadi konflik.

Menangani Konflik Sosial

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.







Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012, definisi dari konflik

sosial adalah:

“Konflik Sosial, yang selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.”

Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  2012  secara  khusus  dimaksudkan  untuk

dijadikan  pedoman  dalam  penanganan  konflik  secara  lebih  sistematis  dan

komprehensif,  karena   mencakup  tiga   batasan,   yakni   pencegahan   konflik,
penghentian konflik dan pemulihan pascakonflik. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, pencegahan konflik merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem peringatan dini. Penghentian konflik adalah serangkaian kegiatan untuk mengakhiri kekerasan, menyelamatkan korban, membatasi perluasan dan eskalasi Konflik, serta mencegah bertambahnya jumlah korban dan kerugian harta benda. Pemulihan pascakonflik adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan keadaan dan memperbaiki hubungan yang tidak harmonis dalam masyarakat akibat konflik melalui kegiatan rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
 

Buku Tamu

Recent posting

Recent comment