Sabtu, 16 Juni 2018

MARI CEGAH KEJAHATAN, BERSAMA KITA BISA !



                      Mencegah lebih baik daripada mengobati, setiap permasalahan pasti ada                    solusi untuk dapat dilakukannya pencegahan, demikian juga dengan kejahatan, 

                      Pencegahan dikenalkan  oleh M. Kemal Dermawan (1994:4) (Strategi

Pencegahan Kejahatan) sebagai kegiatan yang meliputi segala tindakan yang

mempunyai  tujuan   yang  spesifik dalam mengurangi luas   lingkup   suatu

pelanggaran,   baik    melalui    pengurangan   kesempatan    untuk    melakukan

kejahatan  ataupun  melalui  usaha  pemberian  pengaruh  kepada  orang  yang

potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum. Selain itu,

dalam buku yang berjudul Evidence-Based Crime Prevention yang disusun oleh

Lawrence W. Sherman (2004), dikemukakan teori pencegahan kejahatan yang

berasal dari pendapat para ahli, yakni:

Pencegahan kejahatan merupakan sesuatu hal yang tidak hanya difokuskan pada niat pelaku namun difokuskan pada akibat dari kejahatan yang terjadi. Akibat yang dimaksud dapat dimaknai dalam dua bentuk yaitu jumlah tindak pidana yang terjadi dan jumlah pelaku tindak pidana tersebut (Hirschi, 1986). Beberapa akibat yang dapat menjadi perhatian juga dapat dilihat dari jumlah akibat buruk yang dapat dicegah (Reiss dan Roth, 1993:53-61) atau jumlah korban yang diakibatkan oleh tindak pidana atau korban yang menerima akibat dari tindak pidana itu kembali.

Berdasarkan dua pendapat di atas mengenai pencegahan kejahatan,

maka dapat disimpulkan dua hal pokok dalam upaya pencegahan kejahatan.

Pertama,   pencegahan  kejahatan   adalah   tindakan   yang   dilakukan   untuk
memperkecil luas lingkup suatu pelanggaran dengan ditandai oleh penurunan jumlah tindak pidana yang terjadi serta jumlah korban yang ditimbulkan akibat tindak pidana tersebut. Kedua, pencegahan kejahatan adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kesempatan terjadinya suatu pelanggaran dengan mempengaruhi masyarakat untuk tidak menjadi pelaku maupun menjadi korban atau menjadi korban kembali.

Berkaitan dengan hal di atas, Dermawan menghubungkan hal tersebut dengan langkah pencegahan kejahatan melalui 3 pendekatan sebagai berikut :


a.               Pencegahan kejahatan melalui pendekatan sosial biasa disebut social crime prevention yang mempunyai arti segala kegiatannya bertujuan untuk menumpas akar penyebab kejahatan dan kesempatan individu untuk melakukan pelanggaran.

b.               Pendekatan yang kedua adalah situational crime prevention. Pencegahan secara situasional berusaha mengurangi kesempatan untuk kategori kejahatan tertentu dengan meningkatkan resiko (bagi pelaku) yang terkait, meningkatkan kesulitan, dan mengurangi penghargaan.

c.               Pencegahan kejahatan melalui pendekatan kemasyarakatan yang sering disebut sebagai community based prevention yang segala langkahnya ditujukan untuk memperbaiki kapasitas komunitas untuk mengurangi kejahatan dengan jalan meningkatkan kapasitas mereka untuk menggunakan kontrol sosial informal. Kontrol sosial informal, partisipasi, dan kohesi sosial adalah faktor kunci yang menyumbang pada kapasitas lingkungan ketetanggaan untuk membatasi kejahatan dan perilaku menyimpang di dalam batas wilayah mereka. (Dermawan,1994:31)

Teori pencegahan kejahatan situasional/situational crime prevention didasarkan kepada pendapat bahwa kejahatan dapat dicegah atau dikurangi dengan cara mengubah berbagai aspek terkait dengan tersedianya kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk melakukan aksi kejahatan (Benson dan Madensen dalam Pontel dan Geis, 2007:609). Teori pencegahan kejahatan situasional berfokus kepada situasi yang menyebabkan terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, teori pencegahan kejahatan situasional menitikberatkan pembahasan kepada bagaimana kejahatan terjadi dan faktor-faktor situasional apa saja yang dapat dirubah agar kejahatan tersebut tidak terjadi kembali di masa yang akan datang (Benson dan Madensen dalam Pontel dan Geis, 2007:609).



Terdapat lima prinsip dalam pencegahan kejahatan situasional yaitu,

(1)  meningkatkan usaha yang dibutuhkan untuk melakukan kejahatan/increase the degree of effort necessary to carry out the offense, (2) meningkatkan resiko bagi pelaku untuk tertangkap atau terdeteksi sebelum, pada saat, dan setelah kejahatan dilakukan/increase the risk of detection prior to, during, or after the completion of the criminal act, (3) mengurangi hasil yang dapat diperoleh dari kejahatan/reduce the rewards that can be obtained by engaging in the offense,

(4)  mengurangi kondisi situasional yang dapat memprovokasi kejahatan yang tidak direncanakan/reduce situational conditions that may provoke an unplanned criminal act, dan (5) mengurangi kemampuan pelaku kejahatan untuk membuat alasan pembenar atas kejahatan yang dilakukannya atau mengurangi situasi yang dapat menghilangkan kewajiban pelaku kejahatan untuk bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya/remove the offender‟s ability to make excuse that justify criminal actions or that absolve the offender from responsibility (Cornish dan Clarke, 2003, sebagaimana disadur oleh Benson dan Madensen dalam Pontel dan Geis, 2007:611, diterjemahkan secara bebas oleh penulis).


Tabel 1.1

Dua Puluh Lima Teknik Pencegahan Kejahatan Situasional
  
Meningkatkan
Meningkatkan
Mengurangi
Mengurangi
Menghilangkan
usaha
resiko
hasil kejahatan
provokasi
alasan
Meningkatkan
Memperluas
Menyembunyikan
Mengurangi
Menyusun
pengamanan
frustasi dan
penjagaan
target
aturan
target kejahatan
stres



Mengendalikan
Membantu
Menghilangkan
Menghilangkan
Memberi
akses menuju
pengawasan
target
perselisihan
instruksi
fasilitas
alamiah



Pemeriksaan
Mengurangi
Mengidentifikasi
Mengurangi
Memberi
perilaku
jalur keluar
anonimitas
barang
peringatan
emosional




Memisahkan
Memanfaatka

Menetralkan
Memfasilitasi
n pengelola
Merusak pasar
tekanan orang
pelaku
perilaku patuh
tempat

sekitar



Mengendalikan
Memperkuat
Mencegah
Mencegah
Mengendalikan
asenjata/alat
pengawasan
narkoba dan
keuntungan
peniruan
kejahatan
formal
minuman keras



(disadur dari Cornish dan Clarke, 2003, sebagaimana disadur oleh Benson dan Madensen dalam Pontel dan Geis, 2007, diterjemahkan secara bebas oleh penulis)




MENGAPA BISA TERJADI TINDAK PIDANA?


Sebuah tindak pidana terjadi pasti karena suatu sebab. Dimana tindak pidana tersebut terdapat beberapa unsur  terjadinya, apabila unsur tersebut tidak terpenuhi maka kemungkinan terjadinya akan sangat besar, hal tersebut dibahas di dalam sebuah kajian yang berdasarkan riset terhadap suatu permasalahan sosial yaitu teori aktivitas rutin.
Teori aktifitas rutin disampaikan oleh Lawrence E. Cohen dan Marcus Felson dalam tulisan berjudul “Social Change and Crime Rate Trends: A Routine Activity Approach”, yang dimuat di dalam jurnal American Sociological Review, volume 44, halaman 588 sampai dengan 608, pada bulan Agustus 1979. Dalam tulisan tersebut Cohen dan Felson berfokus untuk menyajikan analisis mengenai situasi dan kondisi lingkungan yang menjadi tempat terjadinya kejahatan predatoris kontak langsung/direct contact predatory violation.

Cohen dan Felson (1979:589, dengan mengutip pernyataan Glaser 1971:4) mendefinisikan kejahatan predatoris sebagai tindakan ilegal dimana seseorang secara nyata dan sengaja mengambil atau merusak/melukai seseorang atau harta benda milik orang lain, “[p]redatory violations are defined here as illegal acts in which „someone definitely and intentionally takes or damages the person or property of another‟” (Glaser, 1971:4 sebagaimana dikutip oleh Cohen dan Felson, 1979:589). Kejahatan predatoris selalu melibatkan kontak fisik secara langsung di antara sekurang-kurangnya satu pelaku dengan sekurang-kurangnya satu orang atau satu benda yang dapat diambil atau dirusak/dilukai oleh pelaku (Cohen dan Felson, 1979: 589).
Cohen dan Felson (1979:589) berpendapat bahwa perubahan struktural dalam pola aktivitas rutin dapat memberikan dampak kepada tingkat kejahatan dengan mempengaruhi konvergensi ruang dan waktu di antara tiga elemen kejahatan predatoris, yaitu (1) pelaku yang termotivasi untuk melakukan tindak pidana/motivated offenders, (2) adanya target yang sesuai/suitable targets of criminal victimization, dan (3) ketiadaan penjaga yang kapabel/the absence of capable guardians of persons or property. Terkait dengan hal tersebut, Cohen dan Felson (1979) berpendapat bahwa ketiadaan salah satu atau lebih elemen-elemen tersebut akan menghalangi terjadinya kejahatan predatoris.

Cohen dan Felson (1979:589) juga berpendapat bahwa konvergensi antara keberadaan target yang sesuai dan ketiadaan penjaga yang kapabel dapat mengakibatkan semakin meningkatnya tingkat kejahatan tanpa perlu adanya peningkatan kondisi struktural yang memotivasi seseorang untuk melakukan kejahatan. Dengan kata lain, seseorang dapat termotivasi untuk melakukan kejahatan sebagai akibat adanya target yang sesuai dan ketiadaan penjaga yang kapabel. Oleh karena itu, apabila jumlah pelaku yang termotivasi atau pun keberadaan target kejahatan yang sesuai selalu dalam keadaan yang stabil   dalam   masyarakat,    hal   tersebut   dapat   meningkatkan   kesempatan terjadinya kejahatan (Cohen dan Felson, 1979). Peran penjaga yang kapabel untuk melakukan pengendalian menjadi sangat penting, apabila pengendalian melalui aktivitas  rutin  menurun,  maka  kejahatan  predatoris  akan  meningkat (Cohen dan Felson, 1979:589).

Kamis, 31 Mei 2018

PEDANG ZULFIKAR (PALING TAJAM DI DUNIA)

Nabi Muhammad diceritakan dalam sejarah memiliki banyak pedang. Jumlahnya sendiri sekitar 9 dan masing-masing memiliki nama serta sejarahnya sendiri-sendiri, entah asal atau kapan dipakainya oleh Nabi. Nah, dari semua pedang yang beliau punya, boleh dibilang yang paling punya nama adalah Zulfikar. Pedang satu ini unik luar biasa dan selalu dianggap sebagai senjata paling mematikan di masanya.
Ya, Zulfikar dikatakan oleh para sejarawan sebagai salah satu pedang legendaris di dunia. Tak hanya karena fisiknya yang luar biasa, tapi juga cerita sejarah dan juga soal rumor-rumor yang menyelimutinya. Misalnya saja tentang keberadaan Zulfikar yang disembunyikan dan baru akan ditunjukkan jika sang Mahdi yang sesungguhnya sudah muncul.

Asal Mula Zulfikar yang Belum Pasti

Dengan pamor yang meluas seperti itu, siapa sangka jika hal-hal mendasar soal Zulfikar justru masih belum diketahui. Misalnya saja tentang awal mula keberadaan pedang satu ini. Ya, hingga hari ini masih belum benar-benar diketahui dari mana Zulfikar berasal. Namun, meskipun seolah buta soal orisinalitas pedang hebat ini, tapi di luar sana beredar dua teori populer tentang asal usul Zulfikar.
Bentuk Unik Zulfikar
Selain soal asal usul, hal yang paling unik soal Zulfikar tentu adalah bentuk fisiknya sendiri. Tak seperti pedang lain pada masanya, bentuk Zulfikar bisa dikatakan cukup nyentrik. Ia melengkung seperti Schimitar, tapi punya ujung terbelah. Jadi, bagian atas pedangnya memiliki percabangan.

SISTEM PERTAHANAN RAKYAT SEMESTA

HAKIKAT SISTEM PERTAHANAN RAKYAT SEMESTA
Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishanrata) adalah konsep yang ditetapkan bangsa Indonesia sebagai cara menghadapi dan mengatasi serangan dan gangguan yang dilakukan negara bangsa lain terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Adalah kenyataan yang terbukti dalam sejarah bahwa bagian bumi yang kita namakan Indonesia mempunyai daya tarik kuat pada bangsa lain untuk menguasainya, ditimbulkan oleh kekayaan potensi sumberdaya alam dalam berbagai variasi, penduduk yang besar jumlahnya dan tinggi potensinya, serta kondisi geografinya sebagai posisi silang antara dua benua dan dua samudera.
Untuk menghadapi dan mengatasi berbagai kemungkinan macam serangan dan gangguan yang dilakukan negara bangsa lain terhadap NKRI dikembangkan satu konsep pertahanan yang bersifat semesta serta menyangkut seluruh rakyat Indonesia. Konsep pertahanan itu kita namakan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta atau SISHANRATA.
Sejak permulaan Abad ke 20 umat manusia menghadapi kenyataan bahwa setiap perang bersifat semesta. Artinya, satu konflik bersenjata antara dua negara bangsa bukan hanya terjadi di bidang militer dan politik saja, melainkan juga menyangkut setiap aspek kehidupan seperti bidang ekonomi, bidang sosial dan lainnya. Perkembangan yang terutama didorong penemuan dan berbagai persenjataan baru yang dimungkinkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, meniadakan pemisahan antara medan perang dan daerah aman. Yang terjadi adalah bahwa medan perang ada di mana-mana (the front is every where) dan menyangkut seluruh kehidupan bangsa yang ada dalam konflik bersenjata itu. Hal ini menjadikan seluruh bangsa obyek perang, tidak terbatas pada kekuatan militer tetapi juga Rakyat yang tidak memegang senjata. Hal demikian tidak dapat diterima oleh Rakyat yang tidak mau ditundukkan oleh musuh. Rakyat sadar dan tergerak bahwa ia pun harus menjadi pelaku atau subyek, subyek dalam konflik, tidak hanya sebagai obyek. Peran Rakyat sebagai subyek makin kuat kalau militansi Rakyat kuat dan tidak mau ditundukkan untuk mengikuti kehendak bangsa penyerang.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Pertahanan telah menghasilkan sistem senjata yang makin besar daya penghancurnya, yang dikumpulkan sebagai Senjata Pemusnah Massal (Weapons of Mass Destruction WMD), meliputi sistem senjata nuklir, biologi dan kimia. Dengan memiliki sistem senjata itu satu negara bangsa makin yakin akan kemampuannya untuk mencapai kepentingan nasionalnya dengan didukung kekuatan militernya. Di samping itu juga senjata konvensional makin berkembang kemampuannya, bahkan senjata yang dipegang perorangan dapat menimbulkan kehancuran besar. Ini dipertinggi dampaknya dengan makin berkembangnya teknologi komunikasi dan komputer.
Akan tetapi terjadi satu paradox bahwa justru kehadiran sistem senjata WMD itu serta makin hebatnya dampak senjata konvensional, timbul peringatan untuk tidak gegabah memulai satu konflik bersenjata. Sebab belum tentu hanya pihak yang menyerang mempunyai kemampuan persenjataan yang hebat dan dengan kemampuan itu dapat mengalahkan bangsa sasarannya dengan cepat. Ternyata juga pihak yang diserang dapat mengembangkan persenjataannya dan perlawanannya, dan tidak dapat ditundukkan dengan mudah. Di antara negara bangsa yang memiliki persenjataan nuklir berkembang kondisi Mutual Assured Destruction (MAD) atau Kepastian Saling Menghancurkan. Kemudian tidak hanya terjadi karena dampak senjata nuklir atau WMD, tetapi juga bangsa yang hanya mempunyai persenjataan konvesional menimbulkan dampak itu. Hal itu kemudian terbukti ketika ada negara yang terlalu yakin akan kekuatannya, menyerang bangsa lain karena mengira keunggulan teknologinya dapat menundukkan bangsa obyeknya secara cepat dan tuntas. Terbukti bangsa dengan keunggulan senjata menghadapi lawan yang mampu menetralisasi keunggulan teknologi itu dan malahan menimbulkan kerugian tidak sedikit pada penyerang.
Unsur yang memungkinkan netralisasi keunggulan teknologi, khususnya senjata, ternyata adalah peran Rakyat yang bersama kekuatan militer melakukan berbagai usaha untuk membuat bangsa penyerang terpukul dan menghindari atau mengatasi dampak dari keunggulan teknologi penyerang.
Namun kemudian kemajuan cara berpikir memberikan jalan dan cara lain bagi bangsa yang agressif untuk menyerang bangsa yang hendak ditundukkannya. Karena ia sadar tidak dapat menundukkan bangsa sasarannya dengan kekuatan senjata ia kembangkan cara-cara lain. Ia antara lain menimbulkan pada bangsa sasarannya problema di dalam negeri seperti pemberontakan bersenjata dan persoalan lain yang akhirnya meruntuhkan pemerinntah bangsa itu untuk digantikan dengan orang-orang yang menguntungkan penyerang. Malahan kemampuan manusia kemudian mengembangkan cara menyerang tanpa kekerasan yang dapat menciptakan keadaan dalam mana pimpinan negara yang diserang serta pemerintahnya tunduk pada kehendak penyerang.
Perkembangan umat manusia telah mengakhiri kebenaran mutlak Definisi Perang yang dihasilkan oleh Jenderal Von Clausewitz pada tahun 1810-an dan diikuti oleh hampir setiap bangsa di dunia. Von Clausewitz mengatakan : Perang adalah Tindakan Kekerasan untuk memaksa musuh tunduk pada kehendak kita (Der Krieg ist ein Akt der Gewalt um den Gegner zur Erfuellung unsres Willens zu zwingen). Ternyata sekarang Pemaksaan Kehendak dapat dilakukan tanpa penggunaan kekerasan senjata. Meskipun demikian masih ada bangsa yang amat yakin kepada keunggulannya dalam teknologi dan senjata dan memilih melakukan serangan dengan penggunaan anneka ragam senjatanya. Akan tetapi sering ia harus mengalami hukuman ketika justru terpukul oleh bangsa yang diserang.
Sesuai Pancasila Dasar Negara dan UUD 1945 bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa Agressor. Akan tetapi dalam kenyataan yang berkembang, bangsa Indonesia harus selalu siap menghadapi usaha bangsa lain yang mau menguasainya. Maka untuk menjamin dan memelihara kemerdekaan dan kedaulatan NKRI bangsa Indonesia menetapkan konsep Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishanrata). Dengan konsep itu dikembangkan kemampuan bangsa yang maksimal untuk melindungi dirinya.
SEJARAH TERWUJUDNYA SISHANRATA
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 jatuh dalam masa berakhirnya Perang Dunia 2. Maka Belanda yang sebenarnya pada bulan Maret 1942 telah berakhir kekuasaannya di Indonesia ketika ia menyerahkan kekuasaan itu kepada Jepang, segera setelah selesai perang berusaha untuk berkuasa kembali di Indonesia. Dalam hal ini Belanda dibantu Inggeris yang mempunyai kepentingan serupa untuk kembali berkuasa di bekas jajahannya di Asia Tenggara. Maka tidak lama setelah Republik Indonesia berdiri bangsa Indonesia menghadapi berbagai usaha bekas penjajah untuk datang dan merebut kembali kekuasaannya. Pemuda Indonesia yang bergabung dalam berbagai organisasi perjuangan, baik BKR yang kemudian menjadi TKR dan aneka ragam lasykar, melakukan perlawanan terhadap usaha penjajah itu. Akan tetapi karena Belanda mendapat bantuan Inggeris ia sukar dihentikan dan dikalahkan usahanya oleh para pejuang. Maka terjadi perlawanan gagah berani di berbagai daerah, seperti pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan bangsa Indonesia. Juga di daerah lain terjadi pelawanan yang sengit dan gagah berani, seperti pertempuran Ambarawa, di Tangerang, dan banyak lainnya.
Pada tahun 1946 TKR telah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dengan Markas Besar Tentara (MBT) sebagai lembaga pimpinannya, dipimpin Panglima Besar Jenderal Sudirman dan dibantu Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Staf dan pimpinan MBT. Dalam MBT ada Perwira-Perwira yang mempelajari bagaimana bangsa Indonesia dapat memenangkan perjuangannya, khususnya di bidang militer. Mereka juga mempelajari segala perkembangan yang terjadi dalam Perang Dunia 2, baik di medan perang Eropa, Afrika maupun Asia-Pasifik.
Dalam pada itu makin nampak bahwa Belanda dapat membangun keunggulan teknik militer, sebaliknya bangsa Indonesia belum dapat membangun kemampuan teknologi yang mengimbangi teknologi yang dimiliki Belanda. Dengan mempelajari cara perang di bagian dunia lain dalam Perang Dunia 2 para Perwira di MBT menyimpulkan bahwa melawan tentara musuh yang memiliki keunggulan teknologi tidak cukup hanya dengan perlawanan frontal. Perlawanan pejuang Yugoslavia melawan tentara Jerman, demikian juga Kunchantang di China terhadap tentara Jepang, menunjukkan bahwa perlawanan akan lebih memberikan kemungkinan keberhasilan kalau di samping perlawanan frontal juga ada perlawanan wilayah. Dalam perlawanan wilayah seluruh kemampuan bangsa di wilayah itu diatur dan digerakkan untuk melawan penyerang. Dalam perlawanan wilayah faktor Rakyat amat menentukan. Kalau Rakyat merasa tergerak untuk melawan penyerang, dan niat Rakyat itu diatur dengan baik untuk terwujud harmoni dengan perlawanan Tentara, maka terbukti faktor Rakyat dapat menetralisasi keunggulan teknologi musuh.
Maka di MBT pada tahun 1946 dimulai disusun cara perlawanan baru untuk mengalahkan agessor Belanda. Dalam konsep itu TRI yang kemudian menjadi TNI harus melawan serangan Belanda secara frontal secara gigih, tetapi juga mengadakan perlawanan wilayah dengan taktik gerilya sebagai cara utama. Supaya perlawanan wilayah dapat berfungsi baik maka TNI harus selalu dekat dengan Rakyat dan mengajak Rakyat untuk melawan Belanda. Untuk itu perlawanan disusun dalam perlawanan mobil dan perlawanan wilayah atau territorial.
Akan tetapi penyusunan sistem perlawanan baru belum selesai dan siap dilakukan, Belanda sudah mulai dengan aksi militernya pada 21 Juli 1947. Sebab itu offensif Belanda dengan keunggulan teknologi militernya berjalan cepat dan lancar. Sebenarnya Siliwangi di Jawa Barat sudah mulai meyiapkan cara perawanan baru itu karena pimpinan Siliwangi, jenderal mayor (pangkat waktu itu) Nasution, memelihara hubungan erat dengan rekannya di MBT. Akan tetapi karena pimpinan pemerintahan RI kurang sadar atau faham tentang perlawanan wilayah dan manfaatnya, maka dalam perundingan dengan Belanda setelah cease fire pemerintah kita setuju untuk menarik semua pasukan militer RI yang ada di belakang “garis demarkasi” ke daerah Republik. Maka semua pasukan militer RI yang ada di daerah Jawa Barat yang dianggap berada di belakang garis demarkasi Belanda, harus pindah ke Yogya dan Solo. Dengan begitu Belanda dapat kesempatan mengkonsolidasi kekuasaannya di Jawa Barat. Ia membentuk Negara Pasundan dan mulai menjalankan perkebunan yang semua menghasilkan devisa bagi Belanda.
Kejadian atau perkembangan itu menyadarkan semua pihak tentang pentingnya cara perlawanan baru yang waktu itu disebut Perang Rakyat Semesta. Maka kemudian persiapan untuk pelaksanaan perlawanan itu makin digiatkan, karena semua yakin bahwa Belanda akan menyerang lagi. Itu terjadi pada 18 Desember 1948 dan kemudian dibuktikan kegunaan dan kebenaran Perang Rakyat Semesta. Memang Belanda dapat merebut Yogya Ibu Kota Perjuangan dan menawan hampir seluruh pimpinan pemerintah RI, tapi perlawanan wilayah yang kemudian terjadi di seluruh Jawa dan Sumatra menyadarkan para peguasa dunia Barat bahwa untuk kepentingan masa depan Barat, termasuk adanya Perang Dingin yang sudah mulai dengan dunia Komunis, Belanda harus mengalah karena nyatanya tidak dapat menguasai wilayah kecuali menduduki beberapa kota besar saja. Dengan begitu Belanda pada 27 Desember 1949 mengakui kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Melalui Republik Indonesia Serikat yang singkat eksistensinya, pada 17 Agustus 1950 Republik Indonesia berkuasa dan berdaulat di wilayah Indonesia. Hanya wilayah Irian Jaya baru pada tahun 1962 secara resmi masuk kekuasaan itu.
Dengan begitu terbukti kebenaran dan kegunaan Perang Rakyat Semesta. Dalam perkembangan bangsa Indonesia konsep perlawanan itu terus disempurnakan dan sekarang sebagai Sistem Pertahanan Rakyat Semesta menjadi cara bangsa Indonesia menjaga kedaulatan dan kemerdekaannya.
KEMUNGKINAN SERANGAN YANG HARUS DIHADAPI


1. Serangan tanpa Kekerasan
Perkembangan cara berfikir Manusia memungkinkan dilakukan Serangan untuk menundukkan lawan tanpa penggunaan Kekerasan. Dengan membuat cara bepikir bangsa yang menjadi sasaran serangan sesuai dengan kehendak Penyerang, sasaran akan mengikuti apa yang diinginkan Penyerang.
Adolf Hitler melakukan dengan propaganda yang membuat para pemimpin Austria tunduk kepadanya dan Jerman dapat menjadikan Austria bagian Jerman tanpa penggunaan kekerasan. Tentu pada saat itu divisi-divisi panser Jerman siap untuk menyerbu Austria kalau ternyata usaha tanpa kekerasan gagal.
Pihak lain melakukan serangan dengan cara menyuap para pengambil keputusan bangsa yang menjadi sasaran. Dan menyuap dapat menggunakan aneka ragam cara dan sarana, baik uang, kedudukan maupun obyek seksual, pendeknya semua cara yang membuat pihak yang menjadi sasaran lunak dan mengikuti kehendak Penyerang.
Malahan sekarang ilmu pengetahuan menyediakan kemungkinan yang tertuju pada kondisi otak sasaran, khususnya yang menjadi pengambil keputusan dan pimpinan bangsa yang hendak dikuasai Penyerang (cara perang neo-cortex). Kalau para pemimpin dan pengambil keputusan satu bangsa berhasil digarap kondisi otaknya tanpa mereka menyadari telah menjadi korban usaha serangan lawan, maka melalui para pemimpin itu seluruh negara bangsanya dapat dikendalikan pihak Penyerang. Adalah kenyataan bahwa Perang Dingin antara blok Barat dan blok Komunis telah berakhir dengan kemenangan blok Barat tanpa terjadi penggunaan kekerasan. Padahal kemampuan Uni Soviet dalam teknologi militer, termasuk pemilikan senjata pemusnah massal yang tidak kalah dari AS.
Kalau Penyerang mampu melakukan Serangan Tanpa Kekerasan, maka ia dapat mencapai tujuan politiknya lebih murah dan lebih mudah karena tak perlu menggerakkan kekuatan militer untuk menyerang, dan risiko politik dan risiko bentuk lain jauh lebih kecil kalau serangan gagal. Kalau toh Penyerang melakukan serangan dengan kekerasan, semua hasil usaha serangan tanpa kekerasan dapat bermanfaat karena bangsa sasaran sudah jauh lebih lemah dan lunak.


2. Serangan dalam bentuk penciptaan Masalah Keamanan Dalam Negeri.
Cara Serangan ini ada persamaan dengan cara pertama, dalam arti Penyerang tidak melakukan serangan militer terbuka. Diadakan usaha dalam masyarakat bangsa yang menjadi sasaran agar terjadi perkembangan yang menimbulkan perlawanan masyarakat itu terhadap pemerintahnya sendiri. Perlawanan itu diusahakan berkembang menjadi pemberontakan bersenjata dari bagian masyarakat yang tidak puas, acap kali dengan kerjasama tentara atau sebagian tentara bangsa sasaran. Pemberontakan bersenjata berusaha meruntuhkan kekuasaan pemerintah untuk digantikan orang-orang yang berpihak pada Penyerang. Dengan begitu bangsa sasaran dikuasai Penyerang tanpa ada keterlibatan terbuka Penyerang. Pasti ada dukungan macam-macam dari Penyerang kepada pemberontakan, termasuk keuangan, senjata dan peralatan, personil, tetapi hal itu tersembunyi untuk mencegah bangsa sasaran menghidupkan bantuan dan intervensi internasional.
Pelaksanaan pemberontakan bersenjata bisa macam-macam, seperti melakukan gerakan teror atau perlawanan gerilya. Akan tetapi satu saat segala macam pelaksanaan pemberontakan itu harus mempunyai dampak politik yang meruntuhkan kekuasaan pemerintah.
Di masa Perang Dingin blok Komunis menganjurkan Perang Pembebasan Nasional (War of National Liberation) untuk dilakukan rakyat di negara-negara blok Barat dan negara Non-Blok. Buat negara blok Barat yang rakyatnya memberontak dan berpihak blok Komunis terjadi pukulan politik dan militer sekali gus, apalagi kalau pemberontakan itu berhasil meruntuhkan pemerintahnya. Dan negara Non-Blok yang mengalami pemberontakan komunis akan memperbesar kekuatan Uni Soviet dan blok Komunis. Sebaliknya juga blok Barat, khususnya AS, melakukan hal serupa untuk mencegah negara yang jadi sasaran berpihak blok Komunis. NKRI telah mengalami serangan macam ini, baik dari blok Komunis dan blok Barat. Malahan blok Komunis dua kali mencoba melalui Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948 dan G30S PKI tahun 1965, dan dari blok Barat adalah Pemberontakan PRRI-Permesta pada tahun 1958


3.Serangan Militer T erbuka.
Ini adalah cara serangan yang sudah dikenal dan biasanya orang menganggap serangan adalah Serangan Militer Terbuka. Meskipun ada kemungkinan meruntuhkan kekuasaan pimpinan bangsa sasaran dengan serangan tanpa kekerasan atau dengan pemberontakan oleh rakyat bangsa itu sendiri, dua cara yang relatif lebih murah dan mudah dari pada melakukan Serangan Militer Terbuka, namun selalu ada bangsa yang pemimpinnya lebih suka atau lebih percaya menyerang secara militer. Mereka pikir dengan cara itu dapat dicapai penyelesaian politik lebih cepat dan tuntas.
 

Buku Tamu

Recent posting

Recent comment