Sabtu, 16 Juni 2018

MARI CEGAH KEJAHATAN, BERSAMA KITA BISA !



                      Mencegah lebih baik daripada mengobati, setiap permasalahan pasti ada                    solusi untuk dapat dilakukannya pencegahan, demikian juga dengan kejahatan, 

                      Pencegahan dikenalkan  oleh M. Kemal Dermawan (1994:4) (Strategi

Pencegahan Kejahatan) sebagai kegiatan yang meliputi segala tindakan yang

mempunyai  tujuan   yang  spesifik dalam mengurangi luas   lingkup   suatu

pelanggaran,   baik    melalui    pengurangan   kesempatan    untuk    melakukan

kejahatan  ataupun  melalui  usaha  pemberian  pengaruh  kepada  orang  yang

potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum. Selain itu,

dalam buku yang berjudul Evidence-Based Crime Prevention yang disusun oleh

Lawrence W. Sherman (2004), dikemukakan teori pencegahan kejahatan yang

berasal dari pendapat para ahli, yakni:

Pencegahan kejahatan merupakan sesuatu hal yang tidak hanya difokuskan pada niat pelaku namun difokuskan pada akibat dari kejahatan yang terjadi. Akibat yang dimaksud dapat dimaknai dalam dua bentuk yaitu jumlah tindak pidana yang terjadi dan jumlah pelaku tindak pidana tersebut (Hirschi, 1986). Beberapa akibat yang dapat menjadi perhatian juga dapat dilihat dari jumlah akibat buruk yang dapat dicegah (Reiss dan Roth, 1993:53-61) atau jumlah korban yang diakibatkan oleh tindak pidana atau korban yang menerima akibat dari tindak pidana itu kembali.

Berdasarkan dua pendapat di atas mengenai pencegahan kejahatan,

maka dapat disimpulkan dua hal pokok dalam upaya pencegahan kejahatan.

Pertama,   pencegahan  kejahatan   adalah   tindakan   yang   dilakukan   untuk
memperkecil luas lingkup suatu pelanggaran dengan ditandai oleh penurunan jumlah tindak pidana yang terjadi serta jumlah korban yang ditimbulkan akibat tindak pidana tersebut. Kedua, pencegahan kejahatan adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kesempatan terjadinya suatu pelanggaran dengan mempengaruhi masyarakat untuk tidak menjadi pelaku maupun menjadi korban atau menjadi korban kembali.

Berkaitan dengan hal di atas, Dermawan menghubungkan hal tersebut dengan langkah pencegahan kejahatan melalui 3 pendekatan sebagai berikut :


a.               Pencegahan kejahatan melalui pendekatan sosial biasa disebut social crime prevention yang mempunyai arti segala kegiatannya bertujuan untuk menumpas akar penyebab kejahatan dan kesempatan individu untuk melakukan pelanggaran.

b.               Pendekatan yang kedua adalah situational crime prevention. Pencegahan secara situasional berusaha mengurangi kesempatan untuk kategori kejahatan tertentu dengan meningkatkan resiko (bagi pelaku) yang terkait, meningkatkan kesulitan, dan mengurangi penghargaan.

c.               Pencegahan kejahatan melalui pendekatan kemasyarakatan yang sering disebut sebagai community based prevention yang segala langkahnya ditujukan untuk memperbaiki kapasitas komunitas untuk mengurangi kejahatan dengan jalan meningkatkan kapasitas mereka untuk menggunakan kontrol sosial informal. Kontrol sosial informal, partisipasi, dan kohesi sosial adalah faktor kunci yang menyumbang pada kapasitas lingkungan ketetanggaan untuk membatasi kejahatan dan perilaku menyimpang di dalam batas wilayah mereka. (Dermawan,1994:31)

Teori pencegahan kejahatan situasional/situational crime prevention didasarkan kepada pendapat bahwa kejahatan dapat dicegah atau dikurangi dengan cara mengubah berbagai aspek terkait dengan tersedianya kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk melakukan aksi kejahatan (Benson dan Madensen dalam Pontel dan Geis, 2007:609). Teori pencegahan kejahatan situasional berfokus kepada situasi yang menyebabkan terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, teori pencegahan kejahatan situasional menitikberatkan pembahasan kepada bagaimana kejahatan terjadi dan faktor-faktor situasional apa saja yang dapat dirubah agar kejahatan tersebut tidak terjadi kembali di masa yang akan datang (Benson dan Madensen dalam Pontel dan Geis, 2007:609).



Terdapat lima prinsip dalam pencegahan kejahatan situasional yaitu,

(1)  meningkatkan usaha yang dibutuhkan untuk melakukan kejahatan/increase the degree of effort necessary to carry out the offense, (2) meningkatkan resiko bagi pelaku untuk tertangkap atau terdeteksi sebelum, pada saat, dan setelah kejahatan dilakukan/increase the risk of detection prior to, during, or after the completion of the criminal act, (3) mengurangi hasil yang dapat diperoleh dari kejahatan/reduce the rewards that can be obtained by engaging in the offense,

(4)  mengurangi kondisi situasional yang dapat memprovokasi kejahatan yang tidak direncanakan/reduce situational conditions that may provoke an unplanned criminal act, dan (5) mengurangi kemampuan pelaku kejahatan untuk membuat alasan pembenar atas kejahatan yang dilakukannya atau mengurangi situasi yang dapat menghilangkan kewajiban pelaku kejahatan untuk bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya/remove the offender‟s ability to make excuse that justify criminal actions or that absolve the offender from responsibility (Cornish dan Clarke, 2003, sebagaimana disadur oleh Benson dan Madensen dalam Pontel dan Geis, 2007:611, diterjemahkan secara bebas oleh penulis).


Tabel 1.1

Dua Puluh Lima Teknik Pencegahan Kejahatan Situasional
  
Meningkatkan
Meningkatkan
Mengurangi
Mengurangi
Menghilangkan
usaha
resiko
hasil kejahatan
provokasi
alasan
Meningkatkan
Memperluas
Menyembunyikan
Mengurangi
Menyusun
pengamanan
frustasi dan
penjagaan
target
aturan
target kejahatan
stres



Mengendalikan
Membantu
Menghilangkan
Menghilangkan
Memberi
akses menuju
pengawasan
target
perselisihan
instruksi
fasilitas
alamiah



Pemeriksaan
Mengurangi
Mengidentifikasi
Mengurangi
Memberi
perilaku
jalur keluar
anonimitas
barang
peringatan
emosional




Memisahkan
Memanfaatka

Menetralkan
Memfasilitasi
n pengelola
Merusak pasar
tekanan orang
pelaku
perilaku patuh
tempat

sekitar



Mengendalikan
Memperkuat
Mencegah
Mencegah
Mengendalikan
asenjata/alat
pengawasan
narkoba dan
keuntungan
peniruan
kejahatan
formal
minuman keras



(disadur dari Cornish dan Clarke, 2003, sebagaimana disadur oleh Benson dan Madensen dalam Pontel dan Geis, 2007, diterjemahkan secara bebas oleh penulis)




MENGAPA BISA TERJADI TINDAK PIDANA?


Sebuah tindak pidana terjadi pasti karena suatu sebab. Dimana tindak pidana tersebut terdapat beberapa unsur  terjadinya, apabila unsur tersebut tidak terpenuhi maka kemungkinan terjadinya akan sangat besar, hal tersebut dibahas di dalam sebuah kajian yang berdasarkan riset terhadap suatu permasalahan sosial yaitu teori aktivitas rutin.
Teori aktifitas rutin disampaikan oleh Lawrence E. Cohen dan Marcus Felson dalam tulisan berjudul “Social Change and Crime Rate Trends: A Routine Activity Approach”, yang dimuat di dalam jurnal American Sociological Review, volume 44, halaman 588 sampai dengan 608, pada bulan Agustus 1979. Dalam tulisan tersebut Cohen dan Felson berfokus untuk menyajikan analisis mengenai situasi dan kondisi lingkungan yang menjadi tempat terjadinya kejahatan predatoris kontak langsung/direct contact predatory violation.

Cohen dan Felson (1979:589, dengan mengutip pernyataan Glaser 1971:4) mendefinisikan kejahatan predatoris sebagai tindakan ilegal dimana seseorang secara nyata dan sengaja mengambil atau merusak/melukai seseorang atau harta benda milik orang lain, “[p]redatory violations are defined here as illegal acts in which „someone definitely and intentionally takes or damages the person or property of another‟” (Glaser, 1971:4 sebagaimana dikutip oleh Cohen dan Felson, 1979:589). Kejahatan predatoris selalu melibatkan kontak fisik secara langsung di antara sekurang-kurangnya satu pelaku dengan sekurang-kurangnya satu orang atau satu benda yang dapat diambil atau dirusak/dilukai oleh pelaku (Cohen dan Felson, 1979: 589).
Cohen dan Felson (1979:589) berpendapat bahwa perubahan struktural dalam pola aktivitas rutin dapat memberikan dampak kepada tingkat kejahatan dengan mempengaruhi konvergensi ruang dan waktu di antara tiga elemen kejahatan predatoris, yaitu (1) pelaku yang termotivasi untuk melakukan tindak pidana/motivated offenders, (2) adanya target yang sesuai/suitable targets of criminal victimization, dan (3) ketiadaan penjaga yang kapabel/the absence of capable guardians of persons or property. Terkait dengan hal tersebut, Cohen dan Felson (1979) berpendapat bahwa ketiadaan salah satu atau lebih elemen-elemen tersebut akan menghalangi terjadinya kejahatan predatoris.

Cohen dan Felson (1979:589) juga berpendapat bahwa konvergensi antara keberadaan target yang sesuai dan ketiadaan penjaga yang kapabel dapat mengakibatkan semakin meningkatnya tingkat kejahatan tanpa perlu adanya peningkatan kondisi struktural yang memotivasi seseorang untuk melakukan kejahatan. Dengan kata lain, seseorang dapat termotivasi untuk melakukan kejahatan sebagai akibat adanya target yang sesuai dan ketiadaan penjaga yang kapabel. Oleh karena itu, apabila jumlah pelaku yang termotivasi atau pun keberadaan target kejahatan yang sesuai selalu dalam keadaan yang stabil   dalam   masyarakat,    hal   tersebut   dapat   meningkatkan   kesempatan terjadinya kejahatan (Cohen dan Felson, 1979). Peran penjaga yang kapabel untuk melakukan pengendalian menjadi sangat penting, apabila pengendalian melalui aktivitas  rutin  menurun,  maka  kejahatan  predatoris  akan  meningkat (Cohen dan Felson, 1979:589).

 

Buku Tamu

Recent posting

Recent comment