Senin, 07 Agustus 2017

INAFIS POLRI

Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (INAFIS) merupakan sebuah sistem identifikasi yang memiliki pusat data serta yang merekam setiap individu, warga negara Indonesia tak terkecuali bayi begitu lahir maka segera kehadirannya terekam ke dalam INAFIS. Setiap warga akan memiliki kartu yang benar-benar cerdas karena chips yang terbenam di dalam kartu merekam seluruh biodata kehidupan pemegang. Sistem yang diresmikan oleh oleh Presiden Yudhoyono di Markas Besar Kepolisian, Jalan Trunojoyo, Jakarta, Jumat 30 Januari 2009 akan mendukung program KTP Nasional dan pembentukan nomor identitas nasional.
Sistem INAFIS akan diimplementasikan pada Oktober 2009 di seluruh Polda, dan dilaksanakan bertahap. "Dua tahun ke depan giliran kepolisian resort, dua tahun berikutnya kepolisian sektor," terang Kepala Pusat Identifikasi Polri, Komisaris Besar Bekti Suhartono.
inafis
Bekti Suhartono, sebagaimana kabar dari http://nasional.vivanews.com menuturkan bahwa bayi yang baru lahir pun akan segera memiliki data diri berupa sidik telapak kaki yang langsung diambil. "Untuk menghindari tertukarnya bayi dan sebagainya. Sidik kaki langsung masuk database kita," ujarnya.

Pada bayi sengaja sidik telapak kaki yang diambil karena masih menggunakan tinta dan untuk melindungi kulit bayi yang sensitif maka bukan jari yang disidik, kecuali kelak sudah dapat dilakukan tanpa tinta. Sidik telapak kaki bayi akan digunakan hingga usia 16 tahun, nanti ketika membuat KTP sidik jari baru diambil dan hanya dilakukan 1 kali seumur hidup.

Seluruh sidik jari akan disimpan ke dalam database sidik jari nasional dan akan menunjang program KTP nasional yang memiliki single identification number (SIN) atau nomor induk kependudukan (NIK).

Kelak SIN akan berwujud kartu pintar, seperti ATM lengkap dengan chips yang mencatat seluruh sejarah kehidupan pemegang kartu, mencakup biodata dan catatan tindak kriminal yang pernah dilakukan.(sumber : indonesia.go.id)

POKOK POKOK PERANG GERILYA (2)

3. Perang gerilya tidak dapat secara sendiri membawa kemenangan terakhir. Perang gerilya hanyalah untuk memeras darah musuh. Kemenangan terakhir hanyalah dapat dengan tentara yang teratur dalam perang yang biasa, karena hanya tentara demikianlah yang dapat melakukan ofensif dan hanya ofensiflah yang dapat menaklukan musuh.

Pokok-pokok perang menyatakan dengan tegas bahwa hanya dengan ofensif musuh dapat dikalahkan, karena hanya dengan menyerang ia dapat dimusnahkan. Napoleon berkata “Janganlah berdefensif, kecuali jika tiada lagi jalan lain. Jika kamu terpaksa menjalani cara ini, maka haruslah disadari betul-betul, bahwa dengan demikian adalah hanya agar ada waktu utnuk memusatkan cadangan-cadangan, dan agar dapat memancing musuh jauh dari pangkalan operasinya, dengan tujuan yang tak berubah-ubah, yakni agar pada suatu saat dapat mengadakan ofensif terhadapnya.”

Demikianlah tentara ekspedisi Inggris bersama gerilya-gerilya Spanyol mengalahkan tentara Napoleon di negeri Spanyol. Begitu pula gerilya-gerilya Rusia di belakang garis front musuhnya membantu operasi-operasi Tentara Merah yang akhirnya dapat memukul Jerman kembali. Kemenangan Merah di Stalingrad yang sangat terkenal itu adalah pula karena berkat bantuan kaum gerilya di belakang garis-garis pertahanan Jerman. Lalu lintasnya tidak aman, jembatan-jembatan dirusak, kawat-kawat diputus-putus, konvoi-konvoi ditembaki, pos-pos penjagaan dihantam pada malam hari, pasukan-pasukan kecil dihadang, dan sebagainya. Gerakan-gerakan gerilya itu sangat melelahkan dan melemahkan tentara penyerbu.

Di Tiongkok Utara tentara penyerbu Jepang menghadapi gangguan-gangguan gerilya yang sama. Rel-rel kereta api selalu terbongkar, iring-iringan kendaran ditembaki dan dirintangi dengan ranjau-ranjau peledak, pos-pos penjagaan dihancurkan, patroli-patroli dihadang, bangunan-bangunan yang dipakainya diledakkan atau dibakar dan sebagainya, sampai markas-markas Jepang dihancurkan dengan dinamit. Kawat-kawat telepon selalu hilang, digulung dan disembunyikan oleh gerilya, tiang-tiang dibakari. Sedemikian hebat hasil-hasil gerakan gerilya, bahwa tak mungkin pasukan Jepang bergerak pada siang hari, kalau kurang dari satu resimen dan segala gerakan malam hari praktis terhalang sama sekali.

Baik di Spanyol, maupun di Rusia dan Tiongkok, maka gerakan-gerakan gerilya ini tiadalah asal menggerilya saja. Gerakan-gerakan ini adalah untuk membantu operasi-operasi dari tentara yang teratur, induk tenaga perlawanan. Maka oleh karena itu gerakan-gerakan gerilya ini tidaklah terlepas sendiri-sendiri, melainkan adalah berlangsung menurut kebutuhan operasi tentara itu, jadi yang dikoordinir sepenuhnya, walaupun tindakan-tindakannya secara merdeka. Bergerak terpisah, akan tetapi sama-sama menggempur yang satu untuk siasat.

Lain halnya kalau kita yang diserang itu tak mampu menghadapkan tentara yang setara organisasinya, seperti yang kita alami selam perang kemerdekaan kita yang baru lalu. Belanda menyerang di Sumatera dengan 3 brigade dan di Jawa dengan 3 divisi yang modern. Betul kita mempunyai divisi-divisi dan brigade-brigade yang berlipat ganda jumlahnya, akan tetapi kesatuan-kesatuan ini hanya namanya yang divisi dan brigade, isinya, organisasinya adalah bukan. Maka kita tak dapat mengadakan perlawanan dengan front-front yang agak tetap, kita terpaksa membiarkan musuh menduduki semua kota-kota dan jalan-jalan raya, pendeknya meluaskan musuh bergerak ke mana saja yang ia inginkan. Sesuai dengan ejekan-ejekan kepada markas besar kita MBKD (Markas Besar Komando Djawa) dewasa itu, sebagai “Markas Belanda Keliling Djawa”. Sesuai pula dengan kritik-kritik para politisi kepada kita dewasa itu, bahwa kita tak mampu mempertahankan ibukota Yogyakarta. Dalam keadaan demikian seuluruh wilayah, resminya dalam istilah biasa, telah diduduki oleh musuh, sehingga dinyatakan oleh Jenderal Spoor pada saat menginjak ambang pintu 1949:”......operasi-operasi telah selesai, seterusnya kita hanya akan melakukan pembersihan terhadap sisa-sisa, yang akan makan tempo 2 – 3 bulan lagi.......”.

Sebagai pihak si kecil, kita harus melakukan perang gerilya yang luas. Dengan adanya operasi “Wingate” kita maka kita menyusup ke semua penjuru, sehingga dari pantai Banten sampai pantai Besuki menjadi satu gabungan dari beratus-ratus medan perang gerilya yang hangat. Sehingga Belanda harus memancarkan divisi-divisinya menjadi beratus-ratus detasemen penjagaan yang statis, sehingga Belanda buntu dalam gerakannya untuk meniadakan Republik Indonesia dan TNI, untuk menguasai seluruh pulau, untuk menegakkan pemerintahan federalnya, untuk memulai pembangunan ekonommi dan sebagainya, singkatnya sehingga ia buntu sama sekali dan akhirnya melepaskan tujuannya yang semula.

Dalam hal ini gerilya bukan membantu tentara yang reguler seperti dalam contoh-contoh yang tadi. Gerilya di sini adalah induk tenaga perang kita. Suatu gerilya yang semesta dengan politik non-koperasi serta politik bumi hangus, yang mampu membuntukan perang kolonial musuh. Saya sebut membuntukan, karena gerilyakita itu tidaklah mengalahkan musuh dalam arti membinasakan atau mengenyahkannya dari bumi Indonesia. Kita cuma menggagalkan usahanya. Dalam istilah perang baisa kita tidak mengalahkannya.

Kita cuma membela diri, kita cuma defensif, yang kita lakukan dengan perang gerilya yang sedemikian, sehingga buntu usahanya. Dalam defensif, yang seperti kata Napoleon, karena terpaksa belaka. Buntu usaha musuh karena kita pada waktunya mengosongkan kota-kota dan membangun kantong-kantong, di mana organisasi sipil dan militer tetap utuh; kita menghindarkan diri dari penghancuran olehnya. Kita menjalankan politik non-koperasi yang tegas, sehingga tak dapat ia membangun pemerintahan yang dapat tegak sendiri, karena cuma sejumlah kecil pengkhianat-pengkhianat yang tidak dihormati oleh rakyat, yang berkolaborasi dengan dia. Kita melakukan politik bumi hangus, sehingga gagal pembangunan ekonominya. Kemudian dari pada itu kita mengganggunya sebanyak mungkin melelahkannya dengan penghadangan-penghadangan, pengacauan-pengacauan, penyusupan-penyusupan dan sebagainya. Walaupun tindakan-tindakan ini sangat agresif, namun kita tetap dalam defensif, kita tetap dalam membela diri. Tidak mampu kita merebut kota-kota distrik pun dan tidak mampu kita mempertahankannya lama-lama terhadap serangan musuh. Kita membiarkan musuh “keliling Jawa”. Tidak mampu kita menghancurkan pos-pos musuh yang terpencil maupun konvoi-konvoinya yang lewat.

Bahwa musuh akhirnya mengalah, bersedia mengakui dan mengembalikan segala sesuatu kepada Republik dan TNI-nya, bersedia menyerahkan kedaulatan dengan beberapa kompromis dan bersedia mmenarik mundur tentaranya, ini semua dipercepat oleh gerakan politik atas tekanan internasional, sehingga tak perlu kita lakukan perang gerilya yang lama, yang pada suatu taraf harus mempunyai tentara reguler yang mampu berofensif.
Oleh karena itu tidak boleh ada pertempuran yang percuma belaka, yang hanya memukul atau mengganggu musuh, apalagi yang berarti pengorbanan sebagian dari kekuatan gerilya. Si gerilya harus hemat sekali dengan tenaga. Kehilangan 1 senapan mesin bagi si gerilya lebih berarti daripada bagi si lawan yang besar, sama saja dengan arti satu rupiah bagi si miskin lebih berarti bagi si kaya. Oleh karena itulah maka gerilya tak boleh bertempur asal berani-beranian saja, seperti yang sering dianjurkan oleh pimpinan-pimpinan dan propaganda kita di masa-masa yang lalu, yakni “jangan mengenal mundur, terus menyerang, terus menggempur”. Dengan cara-cara demikian kita telah kehilangan perpuluh-puluh ribu senjata dengan pelurunya dalam pertempuran di kota-kota besar dan di pinggirnya, apalagi kehilangan hampir semua peralatan besar dan segala sesuatunya sebelum mulai peperangan yang sebenarnya.




4. Perang gerilya biasanya adalah perang ideologi. Perang gerilya adalah perang rakyat semesta. 

Dalam contoh yang ketiga ini, maka perang gerilya adalah induk tenaga perang seluruhnya, bukan cuma buat membantu seperti dalam contoh-contoh yang lain. Maka jelaslah pula bahwa perang sedemikian memerlukan waktu yang jauh lebih lama dan meminta penderitaan dan pemerasan tenaga yang jauh lebih luas dan berat. Memang perang gerilya bukanlah yang tergampang dan terenteng melainkan sebaliknya. Perang gerilya meminta ketabahan dan kesanggupan yang jauh lebih berat.

Maka sejarah-sejarah perang gerilya cukup jelas menunjukkan betapa luasnya kerusakan-kerusakan jasmani dan rohani yang diakibatkan. Kebiasaan bergerilya membawa kebiasaan menyampingkan ukuran-ukuran hukum dan adat-istiadat yang lazim. Kebiasaan bergerak di bawah tanah mengacaukan pendudukan musuh, membumihangus, melakukan sabotase, berhakim sendiri dan sebagainya, yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan kecil atau juga oleh perseorangan, dengan tidak dalam hubungan organisasi yang lazim serta tidak menurut garis-garis hukum yang lazim.
Kerusakan-kerusakan lahir dan batin yang diakibatkannya sedemikian berat, sehingga ternyata di negara-negara yang telah berperang gerilya, diperlukan berpuluh-puluh tahun lagi buat memperbaiki, sehingga masih lama terus berkecamuk kekacauan-kekacauan di segala lapangan. Daerah-daerah gerilya di Asia Tenggara dari masa perang yang baru lalu, yakni perang ideologi, penjajahan kontra kemerdekaan dengan ditumpangi ileh anasir-anasir perang dingin antara Barat dengan Timur. Perang gerilya Indonesia tidak terhenti sesudah penarikan tentara Belanda, ia melanjut sebagai perang saudara yang tidak kurang hangatnya.

Ideologi, semangat kemerdekaan, menjadi sumber kekuatan dan kesanggupan untuk memulai peperangan melawan musuh yang kuat dan teratur dengan segala tentaranya. Kesanggupan untuk menyalakan peperangan rakyat yang semesta, yang cuma bermodal senjata pada api perjuangan yang menyala dalam tiap sanubari. Lazim gerilya timbul dari gerakan massa berontak. Gerakkan massa meningkat kepada perang gerilya, yang terus meningkat kepada perang biasa. Demikianlah biasanya lahir dan tumbuhnya gerilya di atas haribaan rakyat yang tertindas dan terjajah. Atau si gerilya tumbuh dari sisa-sisa tentara dan inti-inti rakyat yang diduduki oleh musuh penyerbu yang hendak menindas dan menjajah.
Maka hanya ideologi yang kuat hanya batin yang teguh, yang dapat meledakkan perang gerilya yang cukup tabah buat menempuh jalan penderitaan yang panjang dan sulit sampai pada tingkatan mengalahkan musuh yang kuasa. Hanya kesadaran yang suci yang dapat mengikat para gerilya, yang datang memanggul senjata, semata-mata atas panggilan hati sanubari sendiri, di mana para gerilya cukup kesempatan buat menarik diri atau memisah kapan-kapan saja. Kita telah alami dua kali perang gerilya kemerdekaan kita, betapa banyaknya pseudo-pejuang yang berdiam diri di kota-kota pendudukan, bersembunyi mengungsi di kampung-kampung, malah menyerah untuk dilindungi musuh, walaupun dalam masa damai berteriak sebagai patriot dan revolusioner yang paling ulung. Mereka masih berkeliaran, dan masih selamat berkedudukan di sekeliling kita. Mereka tidak cukup kekuatan batin buat mengambil bagian dalam perang gerilya, yang meminta kesadaran ideologi dan keteguhan jiwa yang memang sebesar-besarnya.

Maka pemerintahan-pemerintahan yang tidak didukung oleh rakyat, pemerintahan yang tidak beakar dalam ideologi rakyat, tidak dapat mengharapkan kesanggupan rakyat untuk bergerilya, jika negara mendapat serangan. Rakyat akan bersikap apatis, atau rakyat akan menjalankan perjuangan sendiri kemudian. Pemerintahan Hindia Belanda dahulu merancang perang gerilya, setelah tentaranya yang teratur kalah, buat mengikat musuh sambil menunggu kedatangan bantuan sekutu-sekutunya. Akan tetapi tiada gerilya itu berlangsung, kecuali di pulau Timur dekat basis Australia, karena seperti kata Jenderal Immamura : “Sebab kekalahan Belanda yang utama adalah karena mereka tidak dapat membuat rakyat Indonesia menjadi sekutunya”. Pemerintah jajahan tak mungkin mengharapkan kesanggupan bergerilya dari rakyatnya yang terjajah. Sebaliknya musuhnya gampang mengaktivir gerilya rakyat itu terhadapnya seperti tahun 1942 di Aceh.

Seperti dinyatakan di atas, maka perjuangan ideologi yang hebatlah yang terutama dan yang lazim membangkitkan perang gerilya. Gerakan membebaskan diri dari belenggu penindas dihina sedemikian, untuk melakukan perlawanan. Maka musuh yang menggerakan tentaranya untuk memadamkan pemberontakan hanya mungkin efektif dilawan dengan cara gerilya, dengan kekerasan. Gerilya sebagai tenaga bersenjata yang kecil dan sederhana yang dibantu, dipelihara dan dilindungi oleh rakyat, sehingga ia mampu mengimbangi tentara musuh yang besar lengkap dan teratur. Api semangat perjuangan yang menyala dalam sanubari baik dari si gerilya, maupun dari rakyat yang jadi induknya, yang memberikan kekuatan untuk menyanggup segala penyerbuan dan ujian yang berat, seperti pemboman-pemboman oleh musuh, tindakan-tindakannya yang kejam, yang membalas kepada sanak saudara, yang membakari, dan yang membengis. Api semangat itu memberikan kesanggupan memikul semua beban yang berat itu, dengan keikhlasan yang tak mungkin kiranya kalu cuma karena paksaan dari luar, seperti paksaan undang-undang dan peraturan negara. Ini semua hanya mungkin karena panggilan yang suci dari kalbu sendiri.

Oleh karena itu anggota-anggota tentara gerilya, yang memperjuangkan ideologi ini, tidaklah mungkin cuma sebagai alat negara yang diperintah memanggul senjata, melainkan sebagai pelopor ideologi ia harus aktif dalam soal-soal ideologis, dalam hal politik. Bagaimana ia akan memelopori ideologi, memperjuangkan tunuan politik-ideologis, jika ia cuma alat yang diperintah, yang harus bisu politik? Ia bukan cuma harus mengetahuinya, melainkan ia harus memeloporinya, mempropagandakannya. Tentara yang cuma selaku alat negara yang diperintah, takkan berkekuatan batin untuk menempuh perang gerilya yang dahsyat.

Justru agar dapat melaksanakan perang gerilya yang sungguh-sungguh bersifat perang rakyat semesta, maka kita dahulu dalam tahun 1948-1949 menyusun pemerintahan gerilya yang totaliter, pemerintah kelurahan, pemerintah militer onderdistrik, pemerintah militer kabupaten, pemerintah militer daerah dan kegubernuran militer, di mana berturut-turut lurah, KODM, KDM, KMD dan Gubernur Militer kecuali selaku komandan pertempuran juga menjadi kepala pemerintahan gerilya yang totaliter dengan bantuan badan-badan sipil sepenuhnya.

Susunan pemerintahan “digerilyakan”, cara-cara pengadilan dan kepolisian, cara-cara pemungutan pajak perjuangan, cara-cara penerangan, kesehatan rakyat, pengajaran, perekonomian, perhubungan dan sebagainya. Dengan “digerilyakan” demikian, maka gagallah musuh meniadakan susunan-susunan negara kita sehingga tak mungkin ia menyusun pemerintahannya, sedangkan di lain pihak roda negara kita terus berputar untuk meladeni kehidupan dan perjuangan rakyat.

Dalam ikatan yang semesta itu dapatlah pimpinan mengerahkan dan menyiasatkan seantero tenaga rakyat untuk satu tujuan. Tapi pula dapatlah ia memelihara syarat mutlak dari perang gerilya, yakni yang harus berpangkalan dalam rakyat. Pemerintahan gerilya kita dengan tenaga-tenaga spesial yang bernama kader-kader teritorial memelihara keutuhan dan kesuburan pangkalan rakyat itu.


5. Akan tetapi perang gerilya tidaklah berarti bahwa seluruh rakyat bertempur.

Seperti dijelaskan tadi si gerilya adalah pelopor perjuangan ideologi rakyat, yang hidup di dalam rakyat. Jika dasar dan akar-akar ideologi itu tak ada, maka tak adalah basis bagi gerilya. Demikianlah si gerilya berakar sepenuhnya dalam haribaan rakyat. Maka karena itulah gerilya dapat menjadi subur. Rakyat adalah sendi bagi gerilya.

Pemimpin-pemimpin kita selalu mengibaratkan gerilya sebagai ikan dan rakyat sebagai air mencontoh kepada pelajaran dari Mao Tse Tung. Maka pemimpin Tiongkok ini pun menjelaskan, bahwa “air” itu harus dipelihara dalam “hawa” politik dan sosial ekonomi yang sewajarnya untuk dapat menyuburkan pertumbuhan gerilya yang “berenang” di dalamnya.

Hubungan dengan rakyat harus dipelihara sebaik-baiknya, tiadalah mungkin si gerilya mempunyai keistimewaan terhadap rakyat, seperti sering terjadi dalam hal pseudo-pejuang yang telah kita kenal dalam sejarah kita.

Memang dengan tegasnya, perang gerilya adalah perang rakyat, gerilya lahir dan tumbuh di atas haribaan rakyat yang berjuang, gerilya berjuang dengan bantuan, pemeliharaan dan perlindungan rakyat pula. Gerilya adalah prajurit rakyat yang sejati.

Akan tetapi tiadalah berarti, bahwa seluruh rakyat harus bergerilya aktif, bergerilya dalam arti yang khusus. Dalam arti yang umum perang gerilya adalah perang rakyat semesta, perang militer, politik, sosial-ekonomi dan psikologis. Buat khusus aktif bergerilya, menghantam musuh dengan serangan-serangan bersenjata dan sabotase maka menurut Lawrence adalah cuma 2% gerilya dan 98% sebaliknya adalah rakyat yang bersimpati, jadi 2% yang bertempur dan 98% yang membantu, 2% yang aktif bergerilya dan 98% yang pasif.

Dalam hal gerilya juga diutamakan kualitas. Gerilya yang tabah, penuh semangat dan yang mahir dalam tugasnya, walaupun kecil jumlahnya, akan lebih bermanfaat dariapda massa yang bersenjata. Dalam Perang Boer di Afrika Selatan, pasukan-pasukan gerilya dapat mengimbangi tentara Inggris yang 30 kali besarnya. Lima sampai enam ribu gerilya merah Malaya dapat mengikat 100.000 tentara dan polisi Inggris. Kita juga mengalami, betapa gerilya RMS dapat mengimbangi TNI dengan bandingan 1 peleton terhadap 1 – 2 batalion. Pula gerilya oleh Batalion 426 mengimbangi setiap kali 8 batalion dari pihak kita, namun ia tak dapat dihancurkan, benar-benar ia telah diburu, tapi kita pun telah memburu.

Dalam sejarah perjuangan kita banyak sekali anjuran “rakyat bersenjata” dan “massa memberontak”. Semboyan-semboyan ini tentu harus diartikan sebagai semboyan, karena kita keliru jika membuat seluruh rakyat jadi gerilya yang aktif yang mana kita tidak mungkin dan pula tidak perlu, apalagi tidak efisien. Pemberontakan-pemberontakan massa yang bersenjata biasanya gagal mempertahankan diri. Memang massa bisa gampang diagitir untuk mengganas beramai-ramai, tapi massa itu gampang pecah-pecah dan kacau-balau, sehingga menjadi sangat sulit untuk dipimpin. Suatu sukses bisa menyalakan semangat massa dengan cepat, tapi suatu kegagalan bisa pula merosotkan dan mematahkan semangatnya sekaligus. Pula massa sangat gampang dikacaukan oleh gerakan desas-desus.

Umumnya pemberontakan-pemberontakan kita yang bersenjata secara massa di kota besar tidak memberikan hasil dalam arti militer. Di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya telah menyala gerakan-gerakan massa bersenjata, dan yang di Surabaya telah menjadi eksplosi yang bersejarah. Akan tetapi di semua tempat itu dalam tempo yang singkat kita terpukul pecah dan terdesak keluar kota. Operasi-operasi musuh yang sistematis dapat berangsur-angsur menguasai keadaan, sedangkan kita terpaksa meninggalkan korban perorangan dan peralatan yang tak terhingga artinya buat penerusan perang gerilya seterusnya. Maka ledakan massa tersebut adalah terutama mempunyai arti psikologis, yang menunjukkan kesanggupan perjuangan kita sebagai bangsa, tapi pula seharusnyalah pimpinan segera mengatuur inti-inti gerilya yang mahir untuk dapat meneruskan perang gerilya yang lama.

Ekses-ekses dari “seluruh rakyat dipersenjatai” telah kita alami. 470.000 anggota-anggota badan-badan perjuangan di daerah aman Republik sesudah Renville yang menjadi beban yang tak terpikul bagi negara yang telah kehilangan “daerah-daerah plusnya” di tengah-tengah blokade Belanda yang rapi. Rakyat desa menderita, karena harus merawat orang-orang perjuangan yang tidak produktif secara “jaminan total”. Korupsi oleh bapak-bapak pemilik pasukan-pasukan menjadi gampang. Nama perjuangan dipakai buat menutupi segala macam kepentingan perseorangan dan golongan. Dan dalam clash ke I dan II kita saksikan betapa berkurangnya jumlah pejuang, akan tetapi jika perang selesai maka jumlahnya membumbung tinggi lagi. Dan masyarakat serta negara bertahun-tahun ini masih terus menderita karena akibat-akibatnya, dan masalah bekas pejuang menjadi sangat sulit. Sulit menentukan jumlah yang sungguh-sungguh bekas pejuang, sehingga mereka yang betul-betul bekas pejuang ini menjadi korban oleh jumlah-jumlah pseudo-pejuang yang berlipat ganda. Kita mengalami, betapa di ibukota Jakarta saja tercatat lebih kurang 70.000 bekas pejuang sesudah penyerahan kedaulatan yang minggu-minggu pertama mengeluh, karena personilnya banyak menggabungkan diri kepada badan perjuangan. Seringkali daerah-daerah kekurangan pemuda untuk pekerjaan-pekerjaan dan ladang, karena mereka telah turut perjuangan.

Maka dalam hal ini “seluruh rakyat dipersenjatai” itu sering kali bukanlah kita lagi yang menggerilya musuh, melainkan musuhlah yang menggerilya kita, karena kita tak dapat mengatur dan menguasai jumlah-jumlah yang besar itu.

POKOK POKOK PERANG GERILYA (1)

POKOK-POKOK GERILYA

I.POKOK-POKOK GERILYA

1. Peperangan abad ini adalah perang rakyat semesta
Dalam peperangan bukan hanya kedua belah pihak angkatan bersenjata yang berperang. Peperangan telah menjadi lebih luas dan lebih dalam, antara lain pula karena kemajuan teknik. Peperangan dewasa ini meminta sifat yang semesta, seantero rakyat baik harta dan tenaganya tersedia untuk diolah, untuk mencapai kemenangan. Semua sumber-sumber yang tersedia harus dipergunakan. Untuk mengalahkan bangsa lawan, bukan saja harus dibinasakan angkatan bersenjatanya, melainkan harus demikian pula semua susunan dan lembaga politik dan sosial ekonominya. Perang dewasa ini, bergolak sekaligus di sektor militer, politik, psikologis, dan sosial-ekonomis. Maka sifat serangan adalah semesta, demikian pula yang diserang menggunakan pertahanan rakyat semesta.

Angkatan bersenjata tidak dapat menyelamatkan kemenangan perang jika front politik, ekonomi, sosial dan psikologis tidak cukup kuat buat menunjangnya dan mengimbangi malah melebihi musuh. Maka pimpinan perang bukan cuma pimpinan militer, melainkan pimpinan pergolakan rakyat yang total. Akan tetapi janglah disalahartikan, bahwa perang itu tidak lagi ditentukan oleh hasil pertarungan kedua angkatan bersenjata. Sesungguhnya kekalahan musuh baru terjadi, kalau angkatan perangnya kalah. Akan tetapi buat kemenangan angkatan perang itu adalah syarat mutlak keteguhan front politik, psikologis, sosial dan ekonomis. Maka seantero lapangan kehidupan rakyat turut dalam pergolakan, dalam hubungan perang yang semesta.
Usaha perang bukanlah cuma usaha angkatan perang saja, melainkan telah menjadi usaha rakyat semesta dipelbagai sektor kehidupannya, yang masing-masing ikut serta dalam usaha yang seluruhnya, yang tak dapat lalai melalaikan lagi. Maka si penyerang mengadakan perang kilat untuk memecah-mecah organisasi lawan, sebelum ia mampu mengerahkan segenap tenaga dan harta rakyatnya buat pertahanan yang semesta. Maka negara-negara yang melalaikan persiapan-persiapan perangnya, adalah yang menjadi mangsa perang yang demikian, sehingga terlambat membangkitkan pertahanan rakyat semestanya. Ini adalah suatu bahaya bagi negara-negara demokrasi, yang dengan sendirinya lazim menjadi yang terserang sehingga ia ketinggalan waktu dalam pengerahan pertahanannya.

Maka dalam perang kemerdekaan Indonesia yang kita alami sendiri Belanda telah melancarkan serangan semesta pula terhadap Republik dan kita telah membalasnya dengan perlawanan rakyat yang semesta. Belanda telah mengolah maksimum kemampuan perang dari rakyatnya yang 10 juta, dan mengerahkan suatu angkatan perang seperti belum pernah sebelumnya. Belanda telah mengadakan ganti-mengganti dan bareng-membarengi ofensif politik, ofensif psikologis, ofensif militer, dan ofensif ekonomi.

Gerakan politiknya menghasilkan kota-kota di Jawa dan Sumatera dengan gencatan senjata serta “Linggarjati” 1947, yang memberi tempo dan ruangan buat mendatangkan dan menyusun tentara penyerbuannya. Gerakan militernya yang pertama membulatkan daerah-daerah tiap suku bangsa untuk menjadi negara-negara bagian buat pengepungan dan pengecilan arti Republik, sambil merebut daerah-daerah padi, daerah-daerah perkebunan, pelabuhan-pelabuhan, dan perhubungan-perhubungan. Gerakan politik “Renville” menghasilkan pengosongan kantong-kantong yang tak dapat dicapai oleh aksi militernya. Gerakan psikologis terus memecah-mecah front dalam negeri kita dengan pertengkaran dan provokasi yang tak habis-habisnya. Blokadenya melaparkan dan mengeringkan daerah-daerah Republik.

Maka kita pun pada pokoknya telah mengolah pertahanan rakyat semesta, walaupun tidak serapi cara lawan kita yang mempunyai organisasi yang jitu. Banyak kekurangan kita karena tiadanya koordinasi militer dan politik, tiadanya ketegasan siasat, sehingga musuh dapat kesempatan untuk mengalahkan kita sektor demi sektor dan taraf demi taraf, walaupun pada permulaannya posisi kita, baik politik dan militer, maupun psikologis, dan sosial-ekonomis, jauh lebih kuat, karena semua syarat ada pada kita. Belanda dapat masuk hanya dengan membonceng pada Inggris-Australia dan mula-mula hanya dapat berkuasa dalam kamp-kamp kawat berduri, sedangkan revolusi rakyat telah menguasai de facto hampir seluruh Indonesia, dan senjata-senjata Jepang yang kita rebut cukup buat beberapa divisi, sambil semua alat-alat produksi kita kuasai.

Maka dengan demikian pada umumnya pertahanan rakyat semesta kita itu adalah baru pada semboyan saja, belumlahh suatu usaha yang nyata. Demikian pula pertahanan rakyat semesta kita itu bukanlah keistimewaan kita, karena lawan kita pun dan lain-lain bangsa berbuat demikian, bangsa yang kecil maupun bangsa yang besar, yang berkehendak hati untuk menyelematkan kemerdekaan dan kedaulatannya terhadap lawan yang melanggar.

Rakyatlah yang berperang, dan bukan cuma angkatan bersenjata. Rakyatlah yang memaklumkan perang dan menentukan damai dan yang melahirkan angkatan bersenjatanya. Kaum militer haruslah senantiasa mengingat akan hal ini, ia adalah ujung tombak dari rakyat itu, yang diarahkan oleh rakyat itu pula.

Maka karena itu pulalah tentara-tentara di masa ini adalah tentara rakyat belaka, yakni bukan lagi suatu kaum yang terpisah dan tersendiri. Rakyat sendiri berlatih dan dari rakyat itu sendiri dikeluarkan dan diutuslah putra-putra buat memanggul senjata, kalau rakyat itu menggap perlu untuk berperang. Kepada rakyat itulah putra-putra itu kembali, jika perang selesai. Rakyat memobilisir putra-putranya untuk bertempur, rakyat kemudian mendemobilisir, memulihkannya lagi sehabis perang.

Buat ketertibannya oleh rakyat itu diatur milisi, dengan kewajiban milisi. Dan dalam kesemestaan perang itu diadakan pula kewajiban berlatih, buat lain lapangan juga kewajiban sipil dan pelbagai keharusan yang khusus.


2. Perang gerilya adalah perang si kecil/ si lemah melawan si besar/si kuat.

Jika suatu bangsa diserang dari luar, maka ia berusaha membela diri. Membela diri tidak berarti menangkis saja, menghindari diri daripada pukulan-pukulan, bukan, karena dengan demikian cuma secara pasif, musuh yang menyerang masih tetap kuat dan mampu untuk terus sepanjang masa menyerang. Membela diri itu harus berarti meniadakan ancaman dan pukulan selanjutnya, jadi untuk itu si penyerang dihancurkan, pokoknya dikalahkan.
Bangsa-bangsa yang demokratis pada lazimnya terpaksa berperang karena ia diserang, bukan ia yang mulai. Jika ia mempunyai angkatan bersenjata yang setara dengan agresor, artinya mempunyai organisasi atau kemampuan bertempur yang setara, maka dapatlah ia membela diri dalam suatu perang yang biasa. Biasanya si penyerang berkesempatan mendahului dalam hal, persiapan sehingga ia datang dengan jumlah (kekuatan) yang lebih besar dan di tempat-tempat dan saat-saat yang kurang penjagaan, sehingga ia mendapat terus kemajuan pada tingkatan-tingkatan yang pertama.

Sebaliknya si terserang ketinggalan wsaktu, dan ia berusaha memburu waktu yang ketinggalan itu. Ia berikhtiar menahan lawan selama munggkin dengan mundur berangsur-angsur, sehingga baginya cukup waktu dan ruangan untuk mengerahkan dan menyusun tenaga yang cukup kuatnya (jumlahnya) untuk membalas dengan serangan kembali. Jadi selama sebelum tercapai tingkatan itu ia terus melakukan defensif, membela diri, dengan mengelakkan pukulan-pukulan musuh, samai pada saat dan tempatnya, di mana ia telah cukup mengerahkan jumlah-jumlah (kekuatan) buat beralih kepada ofensif, kepada penyerangan. Karena akhirnya dengan ofensif, dengan menyerang inilah musuh dapat dikalahkan, artinya dibinasakan atau dihantam sedemikian sehingga ia putus harapan dan mengalah saja.

Akan tetapi waktu kita diserang oleh Belanda di tahun 1947, 1948, 1949 kita tak dapat berbuat demikian. Dalam tempo yang singkat musuh merebut semua kota yang penting dan jalan-jalan yang utama. Dan kita tidak mengumpulkan jumlah pasukan yang cukup untuk membalikkan arah serangan ke Jakarta dan memaksa Belanda bertekuk lutut, mengalah dengan tiada bersyarat. Bahwa ia akhirnya bersedia menarik tentaranya dari Indonesia, bukanlah karena dikalahkan oleh tentara kita, melainkan cuma karena dilelahkan dan dibuntukan oleh kita, sehingga tak ada harapannya lagi buat meniadakan Republik. Dalam kebuntuan ikhtiarnya itu maka oleh tekanan iternasional dipercepatlah penyerahan kedaulatan itu.

Sesungguhnya TNI kita tidak setara dengan Belanda. Betul pada tahun 1945 banyak pemuda kita yang telah berlatih, di Jawa saja ada 60 batalyon Peta; betul kita rebut persenjataan dari Jepang cukup untuk beberapa divisi, namun kita tidak mampu mengorganisir tentara yang setara, bukan saja karena kurang waktu dan apalagi kurang keahlian melainkan lebih-lebih karena strategi nasional kita terlalu mengabaikan faktor-faktor strategi militer. Maka Belanda telah mampu 1½ tahun kemudian mengerahkan 130.000 tentara yang modern yang tak dapat kita imbangi, walaupun jumlah tenaga kita beberapa kali lebih besar daripada mereka. Kita terpaksa menghadapkan pasukan-pasukan yang tidak setara, yakni infanteri yang sangat sederhan, yang hanya mampu bertempur sebagai seksi atau kompi. Senjata berat kita telah hilang atau habis dalam pertempuran-pertempuran di kota-kota besar dan di pinggir-pinggirnya, pada waktu sebelum mulai peperangan yang sebenarnya.

Akan tetapi ini hanya kupasan dari kemudian; pada saat-saat itu mungkin pemerintah kita tak mengetahui persis jumlah peralatan yang kita oper, karena kita di daerah bertindak sendiri-sendiril. Pada saat itu sangat sulit bagi markas besar untuk menguasai kesatuan-kesatuan dan daerah-daerah yang mempertahankan “kedaulatan” masing-masing. Maka karena itu semua terpaksalah pertumbuhan tentara diserahkan dengan leluasa kepada keadaan dan perbandingan-perbandingan setempat, jadi tiada dengan suatu rencana pembangunan yang tertentu atas dasar renaca siasat yang tertentu pula, yang memanfaatkan tempo, tenaga dan senjata seefektif-efektifnya.

Maka oleh karena itu kita tak mampu menghadapkan tentara yang agak setara, sehingga kita harus melakukan semata-mata perang gerilya, tidak seperti misalnya di Tiongkok dan Vietnam, di mana di samping gerilya telah beraksi organisasi resimen-resimen dan divisi-divisi yang berangsur-angsur dapat jadi tenaga penggempur yang akhirnya merebut kota, sambil semakin mengusir musuh. Maka kita berperang gerilya bukanlah karena kita diharuskan, karena telah tidak mampu menyusun kekuatan yang berorganisasi sekadar modern, yang setara. Maka gerilya kita pun baru pada tingkatan melelahkan musuh, belum sampai dapat menghancurkannya walaupun bagian demi bagian.

Maka karena itu pula, mungkin tiadalah pimpinan negara mempercayakan penyelesaian sepenuhnya kepada tenaga militer, melainkan senantiasa memilih cara politik, yang mencari persesuaian dengan musuh, dengan mengancam bayangan momok perang gerilya serta bumi hangus dan tekanan politik internasional.

Lain jadinya dengan sejarah gerakan merah di Tiongkok dan perang Viet-Minh di Indo Cina, di mana dengan tiada kompromis dilakukan perang buat mengalahkan musuh, di mana divisi-divisi berangsur-angsur tersusun untuk setaraf demi setaraf mengusir musuhnya.

JENDERAL PEJUANG DAN PEMIKIR





JENDERAL PEJUANG,DAN PEMIKIR



Image result for ah nasutionRelated image



Jenderal Besar TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution ialah seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi incaran dalam peristiwa G30S, namun yang menjadi korban justru putrinya yaitu Ade Irma Suryani Nasution dan juga ajudannya yaitu Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Andreas Tendean. Abdul haris Nasution juga merupakan konseptor dwifungsi ABRI yang Ia sampaikan pada tahun 1958 dan kemudian dipaki selama pemerintahan presiden Soeharto.
Pada 5 Oktober 1997 atau pada saat ulang tahun ABRI, bersama dengan Soeharto dan Soedirman, Ia dianugrahi pangkat kehormatan Jenderal Besar.

Profil Singkat Abdul Haris Nasution

Nama: Jenderal Besar TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution
Lahir: Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara, 3 Desember 1918
Meninggal : Jakarta, 5 September 2000 (umur 81)
Pasangan : Johanna Sunarti
Anak:
  • Hendrianti Saharah
  • Ade Irma Suryani
Agama : Islam
Pendidikan :
  • HIS, Yogyakarta (1932)
  • HIK, Yogyakarta (1935)
  • AMS Bagian B, Jakarta (1938)
  • Akademi Militer, Bandung (1942)
  • Doktor HC dari Universitas Islam Sumatera Utara, Medan (Ilmu Ketatanegaraan, 1962)
  • Universitas Padjadjaran, Bandung (Ilmu Politik, 1962)
  • Universitas Andalas, Padang (Ilmu Negara 1962)
  • Universitas Mindanao, Filipina (1971)
Karier :
  • Guru di Bengkulu (1938)
  • Guru di Palembang (1939-1940)
  • Pegawai Kotapraja Bandung (1943)
  • Divisi III TKR/TRI, Bandung (1945-1946)
  • Divisi I Siliwangi, Bandung (1946-1948)
  • Wakil Panglima Besar/Kepala Staf Operasi MBAP, Yogyakarta (1948)
  • Panglima Komando Jawa (1948-1949)
  • KSAD (1949-1952)
  • KSAD (1955-1962)
  • Ketua Gabungan Kepala Staf (1955-1959)
  • Menteri Keamanan Nasional/Menko Polkam (1959-1966)
  • Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1962-1963)
  • Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1965)
  • Ketua MPRS (1966-1972)

Profil Lengkap Abdul Haris Nasution

Kehidupan Awal

Abdul Haris Nasution Lahir di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara pada 3 Desember 1918. Ia lahir dari keluarga batak muslim, Ia merupakan anak kedua dan anak laki-laki tertua di keluarganya. Ayah Nasution merupakan seorang pedagang dan juga anggota Sarekat Islam. Ayahnya yang sangat religius, menginginkan Nasution untuk belajar di sekolah agama namun sang ibu menginginkan agar dia sekolah kedokteran di Batavia. Setamat dari sekolah pada 1932, Ia mendapatkan beasiswa untuk belajar mengajar di Bukit Tinggi.
Pada tahun 1935, Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikannya dan Ia tinggal disana selama 3 tahun. Keinginannya untuk menjadi seorang guru lama kelamaan memudar saat ketertarikan dalam bidang politiknya tumbuh. Setelah lulus pada tahun 1937, Ia kembali ke Sumatera dan mengajar di Bengkulu. Setahun kemudian Ia pindah mengajar ke Tanjung Raja dekat Pelembang. Namun minatnya pada politik dan militer lebih besar.
Pada tahun 1940, Jerman Nazi menguasai Belanda dan pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima orang Indonesia. Kemudian Nasution bergabung dan dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk pelatihan. Pada September 1940, Ia dipromosikan menjadi Kopral dan 3 bulan kemudian ia menjadi sersan. kemudian Ia menjadi seorang perwira di KNIL atau Koninklijk Nederlands-Indische Leger. Pada tahun 1942, Jepang menduduki Indonesia, lalu Nasution ditugaskan ke Surabaya untuk mempertahankan pelabuhan. Nasution kembali ke Bandung untuk bersembunyi karena takut ditangkap oleh Jepang. Tapi kemudian Ia membantu milisi Peta namun tidak benar-benar menjadi anggota.

Pejalanan Karier Militer

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Nasution bergabung dengan TKR atau tentara keamanan Rakyat dan pada Mei 1948 Ia diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi yang menjaga keamanan Jawa Barat. Pada tahun 1948, Nasution naik jabatan menjadi wakil Panglima TKR meskipun hanya berpangkat.
Pada tahun 1950, Nasution menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat dan T.B Simatupang menggantikan Soedirman yang telah meninggal sebagai Kelapa Staf Angkatan Perang. Pada tahun 1952, Nasution dan Simatupang memutuskan untuk mengadopsi kebijakan restrukturisasi dan reorganisasi ABRI untuk menciptakan tentara yang lebih kecil tetapi yang lebih modern dan profesional.
Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang memobilisasi pasukan mereka dalam unjuk kekuatan, mereka memprotes campur tangan sipil dalam urusan militer, pasukan Nasution dan Simatupang mengelilingi Istana Kepresidenan dan mengarahkan moncong meriam ke Istana dengan permintaan agar Soekarno membubarkan DPR. Lalu Soekarno keluar dari Istana Kepresidenan dan meyakinkan baik tentara dan warga sipil untuk pulang serta Nasution dan Simatupang telah dikalahkan. Nasution dan Simatupang kemudian diperiksa oleh Jaksa Agung Suprapto. Pada Desember 1952, mereka berdua kehilangan posisi di ABRI dan diberhentikan dari ikatan dinas.
Ketika bukan laki KSAD, Nasution menulis buku berjudul Pokok-Pokok Gerilya. Buku ini ditulis berdasarkan pengalamannya yang berjuang dan mengorganisir perang gerilya selama Perang Kemerdekaan Indonesia.
Setelah 3 tahun pengasingan. pada 27 Oktober 1955, Nasution diangkat kembali menjadi KSAD. Pada tahun 1958, Nasution menyampaikan pidato di Magelang, Jawa Tengah, Nasution menyatakan bahwa ABRI harus mengadopsi “jalan tengah” dalam pendekatan terhadap bangsa. Menurutnya, ABRI tidak harus di bawah kendali sipil. Pada saat yang sama, ABRI tidak boleh mendominasi bangsa dengan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kediktatoran militer.
Pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekret yang menyatakan bahwa Indonesia sekarang akan kembali ke UUD 1945 yang asli. Ahmad Haris Nasution diangkat menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan di Kabinet Soekarno dan Ia tetap memegang jabatan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Pada Juli 1962, Soekarno mereorganisasi struktur. Kepala cabang Angkatan Bersenjata akan ditingkatkan dari kepala staf menjadi panglima, Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI dan Nasution ditunjuk sebagai kepala staf ABRI.

Percobaan Penculikan Oleh Pasukan Gerakan 30 September

Pada pagi hari 1 Oktober 1965, pasukan yang menamai dirinya Gerakan 30 September mencoba untuk menculik 7 perwira Angkatan Darat yang anti komunis dan Nasution masuk dalam daftarnya. Pada pukul 04:00, pasukan yang dipimpin oleh Letnan latief untuk menangkap Nasution menuju rumah Nasution yang berada di jalan Teuku Umar no.40 dengan mengendarai empat truk dan dua mobil militer .
Penjaga rumah di pos jaga luar melihat kendaraan datang, namun setelah melihat yang datang adalah para tentara ia tidak curiga dan tidak menelepon atasannya yaitu Sersan Iskaq. Sersan Ishaq berada di ruang jaga di ruang depan bersama dengan 6 tentara dan beberapa di antaranya sedang tidur. Seorang penjaga sedang tidur di taman depan dan satu lagi sedang bertugas di bagian belakang rumah. Dalam sebuah pondok terpisah, dua ajudan Nasution sedang tidur yaitu seorang letnan muda bernama Pierre Tendean, dan ajun komisaris polisi Hamdan Mansjur.
Nasution dan istrinya terganggu oleh nyamuk dan terjaga. Nyonya Nasution yang mendengar pintu dibuka paksa ia bangun dari tempat tidur untuk memeriksa dan membuka pintu kamar tidur, ia melihat tentara Cakrabirawa dengan senjata siap menembak lalu ia berteriak pada suaminya. Nasution yang ingin melihatnya namun saat membuka pintutentara menembak ke arahnya. Sang istri menyuruh suaminya untuk keluar memalui pintu lain, Nasution berlari ke halaman rumah menuju dinding pemisah antara rumahnya dengan Kedutaan Besar Irak. Tentara menemukannya dan menembaknya namun meleset, lalu nia memanjat dinding dan Ia tidak dikejar.
Seluruh penghuni rumah termasuk ibu dan adik Nasution, Mardiah ketakutan, lalu ia berlari ke kamar Nasution dan membawa putri bungsu Nasution yaitu Irma yang baru berusia 5 tahun. Saat mencoba mencari tempat yang aman, seorang kopral penjaga istana melepaskan tembakan dan Irma tertembak dengan 3 peluru dipunggunggnya. Sementara putri Sulung Nasution, Hendrianti Saharah Lari bersama dengan pengasuhnya ke pondok ajudan dan bersembunyi di bawah tempat tidur.
Ajudan Nasution yaitu Tendean mengambil senjatanya dan lari dari rum,ah namun baru beberapa langkah ia tertangkap. Setelah menyuruh suaminya pergi, Ia masuk ke rumah dan membawa putrinya yang terluka. Saat menelpon dokter pasukan cakrabirawa memaksa Ia untuk memberi tahu dimana suaminya lalu ia menjawab bahwa suaminya berada di luar kota. Pasukan cakrabirawa kemudian pergi dari rumah Nasution dan membawa Tendena bersama mereka. Nyonya Nasution kemudian ke rumah sakit pusat angkatan darat membawa putrinya yang terluka.
Nasution yang bersembunyi hingga pukul 06:00, saat kembali ke rumahnya dalam keadaan patah pergelangan kaki. Nasution menguruh ajudannya untuk membawanya ke Departemen Pertahanan dan Keamanan. Pada tanggal 2 Oktober pukul 06:00, Gerakan 30 September berhasil dikalahkan.
Beberapa Minggu setelah G30S, Nasution berusaha melobi Soekarno agar menjadikan Soeharto sebagai Panglima Nagkatan Darat dan pada 14 Oktober 1965, Soeharto diangkat sebagai Panglima Angkatan Darat. Pada Februari 1966, Nasution tidak lagi menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam perombakan kabinet dan juga posisi Kepala Staf ABRI dihapuskan. Harapan untuk melakukan sesuatu telah hilang, para perwira dan juga gerakan mahasiswa berada dibelakang Soeharto, walaupun begitu Ia tetap menjadi tokoh yang dihormati. Nasution di nominasikan untuk posisi ketua MPRS oleh semua fraksi di MRPS dan ia menjadi ketua MPRS.
Walaupun di bantu oleh Nasution, Soeharto menganggap Nasution sebagai saingan. Pada 1969, Nasution dilarang berbicara di Akademi Militer dan Seskoad dan pada 1971 Nasution diberhentikan dari dinas militer. Pada tahun 1972, posisi Ketua MPRS digantikan oleh Idham Chalid. Karena jatuh dari kekuasaan tersebut, Ia mendapat julukan Gelandangan Politik.
Wafatnya Jenderal A.H. Nasution
Pada 6 September 2000, setelah menderita Stroke dan koma, Ahmad Haris Nasution meninggal. Kemudian Ia di makamkan di TMP Kalibata, Jakarta Selatan.

proposal skripsi


SKRIPSI, MULAI DARI PROPOSAL
Contoh Tulisan Proposal Skripsi

Setiap mahasiswa pasti akan mengalami yang namanya skripsi atau tugas akhir untuk jenjang sarjana (S1). Mereka akan mempersiapkan proposal skripsi untuk diajukan kepada dosen pembimbing. Tapi kadang skripsi menjadi momok yang menakutkan untuk para mahasiswa, terutama pada saat sidang ataupun takut salah pada saat menyusun skripsi.
Skripsi itu sendiri merupakan sebuah karya tulis ilmiah dan merupakan tugas wajib mahasiswa semeter akhir, yang berisikan hasil penelitian sesuai bidang keilmuannya masing-masing. Dalam menyusun skripsi setiap kampus mempunyai ciri khas tersendiri, sehingga kampus satu dengan kampus lainya berbeda proses penyusunannya. Oleh karena itulah banyak yang mencari contoh proposal skripsi yang baik.Sebelum proses penyusunan skripsi dimulai, biasanya dilakukan terlebih dahulu proses pembuatan proposal skripsi, hal ini bertujuan untuk mengajukan penelitian yang akan dilakukan. Biasanya proses pembuatan atau penyusunan proposal skripsi tidak berlangsung lama, sekitar satu atau dua mingguan.

Definisi dan Contoh Proposal Skripsi

Contoh Proposal Skripsi
Contoh Proposal Skripsi 
Belajar membuat skripsi ataupun proposal skripsi harus dilakukan sejak semester awalan, dengan banyak membaca contoh proposal skripsi sehingga pada saat semester akhir mahasiswa tidak akan kewalahan dalam menyusun laporan tersebut.
Terus apakah proposal skripsi itu? Proposal skripsi merupakan laporan usulan penelitian tugas akhir mahasiswa (skripsi), dala sistematika penulisan proposal skripsi setiap kampus akan berbeda, hal tersebut agar tiap kampus memiliki ciri khas tersendiri dan juga mencegah adanya plagiat.
Apabila seorang mahasiswa telah selesai membuat laporan proposal maka akan ada yang namanya seminar uji proposal (UP), biasanya seminar UP dihadiri oleh mahasiswa dari semester 7 serta beberapa dosen penguji. Jika uji proposal diterima maka akan lanjut ke tahap penelitian untuk tugas akhir, namun jika gagal maka laporan proposal skripsi harus diperbaiki lagi dan melakukan seminar uji proposal (UP) susulan.
Menurut bentuknya proposal skripsi terbagi menjadi dua bagian diantaranya proposal skripsi mini dan proposal skripsi penuh, untuk lebih lengkap definisinya bisa disimak dibawah ini:

1. Proposal skripsi mini

Proposal skripsi mini merupakan bentuk proposal yang terdiri dari tiga bab skripsi menjadi satu bab, bentuk model proposal seperti ini memiliki kelemahan, yaitu lamanya waktu penulisan skripsi, karena setelah setelah mahasiswa mengajukan proposal penelitian, maka mahasiswa harus mengerjakan bab-bab pada skripsi secara terpisah.

2. Proposal skripsi penuh

Proposal skripsi penuh merupakan bentuk proposal skripsi dengan susunan dalam bentuk bab, dengan sistematika penulisannya pun dari bab 1, bab 2, bab 3 dan daftar pustaka.
Namun ada juga kampus yang menerapkan sampai bab 4, keuntungan penulisan proposal skripsi penuh yaitu penyusunan skripsi semakin singkat, karena bab yang ada pada proposal skripsi tersebut nantinya dijadikan sebagai bab skripsi itu sendiri.
Tetapi setiap bab skripsi tersebut akan banyak perubahan dan revisi sesuai peneliatian yang dilakukan. Dan kelemahannya dari bentuk proposal ini, yaitu jika uji proposal gagal maka mahasiswa harus mengajukan dengan proposal yang lain, dan mengikuti seminar susulan.

Sistematika dan Contoh Penulisan Proposal Skripsi

Contoh Tulisan Proposal Skripsi
Proposal Skripsi – pixabay.com
Sistematika penulisan proposal skripsi setiap kampus berbeda-beda, dibawah ini adalah sistematika yang sering digunakan oleh berbagai kampus:
COVER
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Batasan Masalah
1.4 Tujuan Penelitian
1.5 Manfaat Penelitian
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Bag. Ladasan Teori
2.2 Kerangka Pikir
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2 Teknik Pengumpulan Data
3.3 Teknik Analisis Data
3.4 Analisis Sistem
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Penjelasan sistematika proposal skripsi
1. Cover Proposal
Cover proposal merupakan halaman depan yang pertama kali dilihat oleh penguji, cover proposal skripsi berisi judul skripsi, nama penyusun, nomor induk mahasiswa, logo universitas, nama program study, jurusan, nama universitas, dan paling bawah tahun pembuatan.
2. Lembar Judul
Biasanya setiap perguruan tinggi berbeda-beda ada yang pakai ada juga yang tidak pakai, lembar judul ini merupakan lembaran yang hanya berisi judul skripsi yang diajukan.
3. Lembar Pengesahan
Lembar pengesahan merupakan halaman untuk mengesahkan skripsi yang dibuat, biasanya pada uji proposal lembar pengesahan dibuat hanya saja tidak dibubuhi tanda tangan dosen pembimbing. Namun, pengesahan proposal skripsi biasanya hanya berupa acc dari dosen pembimbing utama di halaman cover.
4. Daftar Isi
Daftar isi adalah daftar halaman dari isi proposal skripsi yang dibuat, daftar isi dibuat agar pembaca atau penguji dengan mudah menemukan bagian-bagian dari proposal skripsi.
5. Kata Pengantar
Kata pengantar berisi sebuah pernyataan pengantar dari penulis yang menjelaskan tentang maksud dan tujuan dari penulisan skripsi beserta ucapan terima kasih dari penulis kepada pihak-pihak kampus dan pihak-pihak yang membantu penulis.
6. Daftar Tabel
Daftar tabel merupakan daftar judul-judul tabel yang berada pada proposal skripsi, daftar tabel berfungsi untuk mempermudahkan pembaca dalam mencari tabel yang berkaitan dengan pembahasan.
7. Daftar Gambar
Daftar gambar merupakan daftar-daftar gambar yang berada pada selusuh isi dari proposal, daftar gambar dipakai jika proposal skripsi terdapat gambar jika tidak terdapat gambar sebaiknya jangan sisipkan lembaran daftar gambar.
8. Daftar Lampiran
Daftar lampiran merupakan halaman yang berisi daftar-daftar lampiran seperti lampiran surat penelitian, lampiran berkas, dan lampiran-lampiran yang dibutuhkan dalam penyelesaian skripsi.
9. BAB 1
Bab 1 merupakan bab pendahuluan dari proposal skripsi yang didalamyan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, serta manfaat penelitian.
10. BAB 2
Bab 2 merupakan bab isi dari proposal, disarankan pada landasan teori jangan terlalu banyak hanya yang dibutuhkan saja untuk proposal.
11. BAB 3
Bab 3 merupakan bab yang berisi metode penelitian seperti lokasi dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan juga analisis sistem.
12. Daftar Pustaka
Daftar pustaka berisi daftar bahan-bahan referensi atau literature yang telah digunakan untuk penelitian. Referensi tersebut baik diambil dari buku, jurnal, maupun sumber elektronik maka harus disertakan dalam halaman daftar pustaka. 
13. Lampiran
Lampiran merupakan halaman yang berisi scanan atau potokopi lampiran berkas-berkas yang dibutuhkan untuk melengkapi data-data penelitian dalam tugas akhir. Baik berupa surat penelitian ataupun berkas-berkas dari tempat penelitian.

Langkah-langkah Membuat Proposal Skripsi yang Baik dan Benar

Menyusun Proposal Skripsi
Menyusun Proposal Skripsi – pixabay.com
Ada beberapa langkah dalam menyusun sebuah laporan skripsi, diantaranya:
1. Pertama yang harus dilakukan sebelum membuat proposal penelitian adalah mencari ide penelitian, apa yang akan di teliti dan menjadi pembahasan dalam skripsi. Usahakan dalam pencarian ide penelitian dilakukan jauh-jauh dipikirkan sejak semester-semester awal.
2. Mencari referensi atau study literatur sebanyak-banyaknya untuk mendukung penelitian nantinya. Bahan-bahan referensi bisa berupa buku, jurnal, maupun media elektronik, usahakan literature yang Anda cari sesuai atau berhubungan dengan penelitian yang akan diajukan nanti.
3. Tentukan terlebih dahulu rumusan masalah berupa latar belakang masalah beserta masalah, ini nantinya akan menjadi latar belakang masalah dan rumusan masalah pada BAB 1 pendahuluan.
4. Buatlah tahapan-tahapan penelitian dengan menggunakan diagram alir.
5. Setelah menyusun tahapan-tahapan penelitian, setelah itu menyusun metode penelitian untuk memecahkan rumusan masalah yang telah dibuat beserta batasannya.
6. Jika rumusan masalan dan metode penelitian berhasil dibuat, maka buat pula judul skripsi yang akan diajukan. Judul skripsi harus sesuai dengan permasalahan diteliti, disarankan dalam membuat judul jangan terlalu luas dan juga jangan terlalu sempit. hal tersebut agar nantinya judul tidak menjadi penghambat penyusunan skripsi Anda.
7. Setelah memecahkan rumusan masalah dan menghasilkan judul, susunlah BAB 1 dengan benar mulai dari latar belakang sampai tujuan penelitian. Selanjutnya, pembuatan tinjauan pustaka. Dalam tinjauan pustaka masukan teori-teori yang mendukung penelitian, dan nantinya sumber-sumber teori tersebut dimasukan kedalam daftar pustaka.
8. Selajutnya lengkapi draft-draft bab yang telah dibuat. Agar proses pembuatan proposal skripsi sesuai yang diharapkan usahakan untuk selalu berdiskusi dengan dosen pembimbing, guna kelancaran skripsi Anda.

Kumpulan Contoh Proposal Skripsi

Kumpulan Contoh Proposal Skripsi
Kumpulan Contoh Proposal Skripsi – pixabay.com
Sebagai pelangkap artikel ini tentu tidak lupa akan saya berikan beberapa contoh poposal skripsi yang sudah dibuat oleh mahasiswa dari berbagai jurusan. Sebenarnya contoh skripsi bisa kamu dapatkan dengan mudah di berbagai perpustakaan kampus. Biasanya berbagai jenis skripsi tersimpan rapi di tempat tersebut, kamu bisa meminjam untuk dibawa pulang untuk disalin.
Tetapi bila kamu tidak mempunyai banyak waktu untuk melakukannya, kamu bisa menggunakan contoh proposal skripsi untuk pengajuan skripsi. 
 

Buku Tamu

Recent posting

Recent comment