Sabtu, 17 September 2016

Pemolisian Masyarakat

Cocokkah Pemolisian Komuniti Diterapkan di Indonesia?
Sebelum pertanyaan diatas dijawab harus diketahui lebih dahulu apa dan bagaimana pemolisian Komuniti. Robert R. Friedmann menyatakan bahwa definisi program pemolisian komuniti mengacu kepada unsur-unsur yang berbeda sehingga tidak mudah menghasilkan diskripsi tunggal. Untuk itu, diusulkan olehnya untuk melihat program community policing dari tiga perspektif, yaitu dari kepolisian, community dan keduanya (Friedmann, 1992).
Dari perspektif kepolisan, dirasakan ada suatu kebutuhan yang semakin besar untuk meningkatkan hubungan dengan msyarakat dengn tujuan:
a) Memanfaatkn berbagai sumberdaya maysarakat untuk membantu upaya mencegah kejahtan dan mengurangi tingkat kecemasan masyarakat terhadap kejahatan.
b) Memperkuat basis bagi dinas reserse.
c) Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi.

Dari perspektif masyarakat, semakin disadari bahwa mereka butuh dan layak mendapaktkan:
a) Layanan yang lebih baik dari aparat kepolisian.
b) Akuntabilitas kepolisian yanglebih handal.
c) Peran yang lebih besar dalam pengambilan keputusan di bidang keamanan.
3. Dari perspektif kepolisian maupun masyarakat, terdapat asumsi bahwa program community policing didasari anggapan bahwa:
a) Kejahatan terjadi akibat faktor-faktor sosial yang relatif tidak terlalu dikuasai oleh pihak kepolisian.
b) Kebutuhan pencegahan kejahatan perlu dipusatkan kepada faktor-faktor sosial penyebab kejahatan.
c) Sikap proaktif perlu dikembangkan untuk menggantikan kebijakan kepolisian yang bersifat reaktif.
d) Diperlukan prasyarat berupa penerapan desentralisasi wewenang pada kebijakan kepolisian yang berwawasan sosial.
e) Perlu lebih mentitikberatkan pada isu kualitas hidup daripada isu tradisional berupa isu keja dan kecemasan terhadap kejahatan.
f) Hak asasi dan kebebasan individu merupakan pertimbangan yang sangat esensial dalam kebijakan kepolisian yang demokratis.

Dengan ketiga cara pandang diatas, Friedmann berusaha untuk merumuskan pengertian Community Policing ke dalam suatu batasan yang bermanfaat dan dapat digunakan yaitu suatu kebijakan dan strategi yang bertujuan agar dapat mencegah terjadinya kejahatan secara lebih efektif dan efesien, mengurangi kecemasan terhadap kejahatan, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kualitas pelayanan polisi dan kepercayaan terhadap polisi, dalam jalinan kerjasama proaktif dengan memberdayakan masyarakat yang ingin mengubah kondisi-kondisi penyebab kejahatan. Hal itu berarti diperlukan adanya kepolisian yang lebih handal, peran masyarakat yang lebih besar dalam pengambilan keputusan, dan perhatian yang besar terhadap hak asasi dan kebebasan individu.
Selain di atas, Trojanowicz dan Bucqueroux (Kratcoski, 1995) menyatakan bahwa Community Policing merupakan pembaharuan besar yang pertama dalam kepolisian sejak aparat kepolisian menganut prinsip manajemen ilmiah lebih dari setengah abad yang lalu. Hal ini merupakan perubahan yang cucup drastis dalam konteks interaksi polisi dengan masyarakat, sebuah falsafah baru yang memperluas misi kepolisian dari yang semula cenderung hanya terfokus pada kriminalitas berubah menjadi kewajiban yang mendorong kepolisian untuk mendayagunakan solusi kreatif bagi berbagai persoalan dalam masyarakat termasuk kriminalitas, kecemasan masyarakat, ketidaktertiban, dan terganggunya kerukunan warga. Community Policing bersandar kepada kepercayaan masyarakat bahwa hanya dengan bekerja bersamalah masyarakat dan polisi akan mampu meningkatkan mutu kehidupan di dalam masyarakat, polisi diharapkan untuk tidak hanya berperan sebagai aparat penegak hukum tetapi juga sebagai penasehat, fasilitator, dan pendukung gagasan baru, dengan basis masyarakat serta disupervisi oleh polisi. 
Community policing didasarkan pada kerjasama masyarakat dan kesamaan posisi dalam memecahkan masalah di komuniti tersebut. Hal tersebut pada gilirannya akan memuaskan kebutuhan yang diungkapkan masyarakat, yang berarti pula meningkatkan kualitas hidup warga. Peranan petugas community policing sama dengan peranan seorang ahli sosial, sebagai fasilitator dan katalis dari kegiatan pemecahan masalah. Melalui edukasi diri dan edukasi warga, petugas berperan sebgai expert dan pendidik peran tanpa memaksakan peran tersebut.
Petugas membantu warga dengan secara rutin mengadakan pertemuan secara individu dan kelompok. 


Dengan komunikasi tersebut akan melahirkan beberapa konsensus tindakan yang diterima dan dilaksanakan oleh warga. Pertimbangan utama dalam community policing adalah warga memberi definisi masalah yang harus dipecahkan, warga terlibat dalam perencanaan dan pengimplementasian giat pemecahan masalah. Didalam buku understanding community policing yang dibuat oleh US Departement of Justice (1994) disebutkan pula bahwa pondasi strategi community policing yang berhasil adalah hubugan yang erat dan saling menguntungkan antara polisi dengan anggota masyarakat. Community policing terdiri dari dua komponen inti yang saling melengkapi yaitu, kemitraan dengan masyarakat dan pemecahan masalah.
Untuk mengembangkan kemitraan dengan masyarakat, polisi harus menjalin hubungan yang positif dengan warga, harus melibatkan warga setempat dalam usaha untuk pegendalian dan pencegahan kejahatan yang lebih baik, dan harus menyatukan sumberdaya mereka dengan sumberdaya masyarakat untuk menangani hal yang paling memprihatinkan bagi warga masyarakat. Pemecahan masalah adalah suatu proses identifikasi masalah yang dihadapi warga dan dilakukan pemecahan yang paling tepat.
Terlepas dari kelebihan-kelebihanya, pemolisian komuniti bukannya tanpa masalah atau kekurangan, terlebih bila dikaitkan dengan segala karakteristik dan permasalahan yang dimiliki oleh negara Indonesia. Kekurangan-kekurangan tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, kemitraan dengan warga dan pemecahan masalah bersama membutuhkan suatu kewenangan diskresional yang penuh dan gaya manajemen yang fleksibel. Oleh karena itu, pengimplementasian pemolisian komuniti mengharuskan organisasi polisi memberikan kebebasan individu petugas dalam mengambil keputusan dengan berbekal pengetahuannya sendiri. Asumsinya adalah petugas lebih tahu dan paham apa keinginan komuniti yang ada di wilayah tugasnya. Ini berarti dibutuhkan suatu komado yang desentralisasi bentuk organisasi kepolisian. Jadi sungguh ironis bila disatu sisi Polri berusaha keras dan mati-matian menerapkan gaya pemolisian berorientasi komuniti tetapi disisi lain tetap ‘keukeuh’ menyatakan sebagai polisi nasional. Kepolisian nasional jelas menempatkan satuan di bawahnya sebagai kepanjangan tangan dari satuan atas. Dalam konteks tersebut maka satuan bawah dilarang mengambil suatu keputusan yang berlainan dengan kebijakan satuan pusat. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan standart operation procedure yang ketat harus dilaksanakan seragam.
Kondisi paradoks seperti diatas terlihat sekali pada kasus kebijakan tiga belas sasaran yang ditetapkan Kapolri. Dengan kebijakan tersebut, seluruh satuan di jajaran dan personelnya telah menempatkan ketigabelas sasaran menjadi tindak pidana yang utama harus diberantas. Padahal, pemolisian komuniti haruslah menempatkan pengidentifikasian dan pemecahan masalah pada interpretasi komuniti. Komuniti harus diberikan kebebasan berdasarkan nilai-nilai khas komuniti untuk menetapkan apa yang menjadi masalah di daerah tersebut termasuk tentang bagaimana cara penanganannya. Di wilayah Polres Metro Jakarta Barat misalnya, kebijakan untuk menutup dan meniadakan judi, menjadikan demonstrasi dan resistensi warga. Mereka tidak habis pikir mengapa Polri mengerahkan seluruh sumberdaya untuk memberantas judi di wilayah tersebut yang sebenarnya tidak pernah merasa terganggu dengan adanya judi. Terlepas bahwa ada pihak disana yang memang tidak suka judi, sangat banyak warga Jakarta Barat yang menggantungkan hidupnya dari hiruk pikuk hiburan antara lain permainan-permainan yang dapat dikategorikan judi. Dalam konteks ini Polres Metro Jakarta Barat tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka tidak ada pilihan untuk menolak karena perintah dari Mabes Polri adalah memberantas segala bentuk perjudian tanpa kecuali. Jelas terlihat memang bentuk organisasi kepolisian adalah sentralisitik tanpa berhasrat sedikitpun untuk menampung aspirasi dari wilayah.
Fenomena di atas merupakan salah satu contoh bahwa desentralisasi kebijakan yang harus ada pada suatu pemolisian komuniti tidak dapat dilaksanakan oleh Polri. Dengan begitu, implementasi Community Policing menjadi tidak optimal atau mungkin memang tidak berjalan.
Masalah kedua terkait dengan pengetahuan dan kemampuan yang harus dimilik oleh setiap petugas pembina kamtibmas. Untuk membangun kemitraan dengan warga komuniti dimana ia bertugas, petugas harus menjalin raport atau kredibilitas kerja yang baik. Kepercayaan warga terhadap petugas sangat dipengaruhi oleh prilaku dan sifat mental dari petugas. Untuk itulah dibutuhkan selain petugas yang mempunyai penampilan menarik, bermoral serta berwatak terpuji. Selain itu, agar dia dapat dijadikan anutan dan tempat bertanya warga tentang segala hal terkait dengan keamanan, maka petugas haruslah sudah berpengalaman dan berpengetahuan memandai sesuai dengan warga di komunitinya. Sesuatu yang mustahil bila warga komuniti rata-rata berpendidikan strata satu, petugas bin kamtibmas hanya lulusan sekolah menengah atas misalnya. Contoh menarik adanya polisi kampus yang dilakukan Polres Depok. Ketika petugas bin kamtibmas harus mengajak warga kampus untuk bersama-sama memikirkan pencegahan kejahatan di kampus UI, terjadi kesenjangan pengetahuan antara petugas yang hanya berpendidikan SMA dengan para warganya yang notabenenya adalah para dosen-dosen yang berpendidikan minimal S2.
Dengan demikian penting untuk diperhatikan bahwa agar petugas pemolisian komuniti dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka diperlukan suatu kemampuan dan kualifikasi tertentu yang disesuaikan dengan karakteristik warga komuniti dimana ia ditugaskan. Dalam poin tersebut Polri dirasa tidak mampu menyediakannya. Disamping kondisi penyaringan dan pendidikan Polri yang carut marut, juga belum adanya suatu analisa jabatan (job analisys) yang memadai. Ironisnya justru biasanya petugas pembina kamtibmas adalah bintara-bintara yang sudah tidak dapat digunakan di satuan fungsinya.
Masalah ketiga, masih terkait dengan masalah kedua yaitu pembinaan karir petugas. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa kata kunci pemolisian komuniti adalah kemitraan dan pemecahan masalah bersama warga. Untuk dapat melaksanakan kata kunci tersebut dibutuhkan rasa percaya warga. Untuk membangun rasa percaya tersebut diperlukan waktu yang tidak sebentar. Dengan kata lain, penugasan petugas di suatu komuniti haruslah ajeg dan tidak singkat. Petugas pemolisian komuniti butuh waktu untuk dikenal dan dipercaya oleh warga. Dalam konteks Indonesia, Polri sulit untuk mewujudkannya terkait dengan pembinaan karir personel tersebut. Jenjang kepangkatan yang bersifat mirip militer dan bersifat struktural mengharuskan petugas tidak boleh berlama-lama di suatu tempat penugasan. Akibatnya petugas sulit untuk membangun kepercayaan warga. Kepercayaan yang tidak terbangun menghasilkan pelaksanaan pemolisian komuniti tidak optimal.
Masalah keempat berkaitan dengan pelaksanaan tugas petugas pemolisian komuniti yang tidak ‘macho’. Di dalam subkultur polisi berkembang suatu nilai-nilai yang bisa jadi berbeda dengan sub kultur diluar Polri. Nilai-nilai tersebut dikenalkan dan dikembangkan dalam proses sosialisasi dan relatif diinternalisasikan dengan baik pada diri setiap individu polisi. Nilai yang relatif dominan adalah bahwa polisi ‘macho’. Di dalam setiap benak polisi di hati kecilnya mengakui bahwa kerja polisi idealnya adalah pembela kebenaran dengan cara memberantas kejahatan. Polisi yang ideal adalah polisi yang berani melindungi kaum lemah dari kebringasan dan kebrutalan penjahat. Oleh karena itu didalam realitas sosial pada sub kultur polisi berkembang suatu keinginan menjadi polisi ‘macho’.
Paradoks dengan hal diatas, justru pemolisian komuniti mengharuskan petugasnya melakukan tindakan antisipatif dan pencegahan. Pada konteks tersebut, petugas lebih bersifat lunak dan cenderung menjadi pelayan warga dalam mengatasi masalah-masalah gangguan sosial. Kondisi ini tentunya berbeda dengan realitas sosial yang dikembangkan dalam subkultur polisi tentang tindakan ‘jantan’. Posisi yang berseberangan antara pemolisian komuniti dan budaya polisi tersebut menjadikan posisi petugas polmas menjadi tidak populer dan cenderung dihindari. Kalau pun yang dipilih adalah mereka yang mempunyai track record kerja yang baik, namun pada akhirnya mereka akan merasa sebagai kelompok personil yang bermasalah dan dibuang ke bagian polaksana pemolisian komunity. Akhirnya, polisi-polisi yang ‘cacat’ atau “merasa cacat” tersebut tidak akan pernah melaksanakan tugasnya dengan maksimal.
Masalah kelima. Secara universal, pemolisian komuniti mengandung kelemahan yang substantif yaitu berkaitan dengan terlalu lamanya hasil yang diperoleh dibanding gaya pemolisian konvensional. Bahkan, ukuran gaya pemolisian komuniti sukar ditetapkan, sehingga keberhasilannya cenderung tidak diketahui. Disisi lain, pimpinan organisasi kepolisian berharap banyak kebijakan yang diambil mendapatkan hasil segera dan jelas. Karena dengan keberhasilan yang segera dan jelas, maka diharapkan akan berpengaruh terhadap karir mereka. Dan dalam organisasi Polri sendiri tidak pernah ada ketentuan yang jelas tentang masa jabatan anggota Polri dalam suatu organisasi. Kesenjangan tersebut membuat para pemimpin Polri cenderung dalam pelaksanannya kembali menggunakan pemolisian lama yang konvensional. Sebagaimana yang diutarakan oleh kriminolog Meliala (2005), bahwa :
Dalam situasi dimana lama masa jabatan bisa jadi tidak menentu, kadangkala tiga tahun, dua tahun, atau bisa juga kurang dari setahun, maka yang ada di benak para perwira Polri adalah bagaimana memperoleh quick wins (hasil cepat) melakaukan breakthrough (terobosan) atau mencatat achievement (capaian). Sementara itu community policing hanya menjanjikan perkembangan lambat, reformatif, substansial, taat proses jelas tidak menguntungkan dan melawan arus. Kata orang “kelamaan nunggunya”. Begitu sudah ada hasil eh..harus pindah..yang dapat prestasi orang lain (pejabat baru)” (Meliala, 2005).

Indikator yang utama terletak pada perhatian para pimpinan kepolisian didaerah kepada fungsi represif seperti Reserse. Bagi mereka, keberhasilan fungsi reserse dalam mengungkap suatu kejadian pidana jauh lebih signifikan nilainya bagi prestis dan karir. Oleh karena itu wajarlah bila pemolisian komuniti hanya bingar di wacana tetapi implementasinya polisi tetap cenderung menggunakan pemolisian pemadam kebakaran.
Masih terkait dengan masalah diatas, karena polisi cenderung berorientasi pada hasil yang segera dan jelas maka pendekatan legalistik menjadi pendekatan utama dalam mengahadapi suatu bentuk gangguan. Padahal, konsep pemolisian komuniti mengharuskan polisi lebih mengedepankan pendekatan social crime prevention ketimbang legalistik.


Masalah keenam lebih bersifat universal dan merupakan kendala yang dihadapi hampir semua negara dalam mengetrapkan pemolisian komuniti. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa community policing berupaya mencegah kejahatan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup warga. Cara-cara yang dilakukan pemolisian jenis ini bersifat sosial dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan rasa aman dan kepuasan warga. Oleh karena itu tidaklah mungkin dapat dilakukan hanya oleh polisi. Pada proses pemolisian tersebut harus terlibat juga komponen-komponen lain termasuk institusi atau lembaga-lembaga sosial di dalamnya. Untuk itulah diperlukan kerjasama yang sinergis agar secara simultan berkerja membangun jaringan sosial yang dapat menunjang kualitas hidup warga. Komponen sosial yang terlibat misalnya dari pemerintah desa dan kecamatan, aparat departemen sosial, pengaturan jalan dan lain-lain. Jadi kata kuncinya adalah kordinasi dan kerjasama dalam kerangka interrelasi bukan kompetisi. Hal tersebut pada prakteknya sulit terjadi. Akhirnya, nuansa persaingan dan saling menonjolkan diri masing-masing dan bahkan saling menjatuhkan pihak lain menjadi lebih kental.
Dalam konteks Indonesia, permasalah diatas menjadi semakin komplek dengan adanya peran teritorial militer. Ketidak laziman ini mengakibatkan makin rumitnya implementasi Community policing di lapangan. Militer terlalu merasa dirinya bertanggung jawab atas seluruh keselamatan negara ini. Karena itu militer merasa dapat masuk dan mengani semua permasalah yang ada di Negara ini. Di lapangan, petugas community policing sering dianggap pesaing militer (babinsa). Karena itulah yang terjadi akhirnya buka sinergi tetapi konflik dan saling menonjolkan diri. Jadi, nuansa militer dan carut marutnya kordinasi antar instansi di Indonesia membuat pemolisian komuniti menjadi tidak efektif.

Masalah ketujuh juga bersifat universal dan merupakan kendala di hampir negara. Community policing yang berorientasi pada masyarakat bertitik tumpu pada kebersamaan warga dan polisi dalam mengidentifikasi masalah dan memecahkannya. Keantusiasan petugas dalam menjalankan community policing akan cenderung mempenetrasi segala urusan warga. Hal tersebut tidak berbeda dengan turut campur tangannya petugas dalam urusan privasi warga. Karena itu, bisa terjadi suatu kondisi dimana kebebasan pribadi dalam beraktifitas menjadi terganggu akibat praktek community policing. Kondisi tersebut sama dengan proses pembusukan demokrasi dan kebebasan. Terlebih lagi, bila petugas terafiliasi pada kepentingan-kepentingan tertentu, dimana dirinya mengemban misi sponsor dalam menjalankan community policing.
Masalah kedelapan adalah tidak semua kalangan masyarakat dapat, mampu, mau atau memiliki kapasitas berinteraksi dengan kepolisian. Community policing cenderung tidak jalan dalam masyarakat yang memiliki keragaman yang tinggi, yang rendah kemampuan sosio ekonominya, serta memiliki sejarah hubungan dengan kepolisian yang “kelam”. Di Indonesia, Polri telah 32 tahun bersifat paramiliter dengan tradisi militer yang relatif kental. Telah 32 tahun pula polisi hanya menjadi kepanjangan tangan penguasa dan pemolisiannya pun dilakukan dengan tujuan melindungi kepentingan penguasa. Dengan bahasa mudah, Polri telah banyak menyakiti hati rakyat. Persepsi masyarakat terhadap Polri tersebut menjadi barier psikologis dalam membangun rasa percaya warga terhadap polisi. Walaupun bisa dikurangi tetapi membutuhkan waktu lama dan konsistensi prima dari Polri. Pertanyaannya adalah mampukah Polri konsisten dalam pengetrapan community policing?.

Rekomendasi

Melihat berbagai kendala dan permasalahan yang kompleks dalam pengetrapan atau implementasi community policing di Indonesia, maka Polri perlu mengkaji ulang pemolisiannya. Gaya community policing harus lebih dilihat sebagai suatu filosofi atau landasan substansi suatu pemolisian bukannya suatu program pemolisian. Oleh karena itu, community policing harus dipandang sebagai suatu rentangan atau kontinum. Polri harus mencari derajat yang cocok diantara rentangan tersebut. Proses pencariannya tentunya harus berdasarkan suatu riset ilmiah bukan coba-coba. Hasil tersebut kemudian dimintakan justifikasi legal dan sosial melalui mekanisme yang berlaku.
Selain itu, community policing harus dipandang sebagai suatu seni bukanlah struktur program baku. Artinya, didalam implementasinya setiap kepolian daerah sampai sektor dapat memodifikasi dan berinovasi menemukan metode teknis pengimplementasian community policing. Hampir sama dengan paragraf diatas, gaya pemolisian suatu komuniti harus bertumpu pada keinginan warga dengan karakteristik khas komuniti. Jadi ketika suatu komuniti berkeinginan dan merasa nyaman dengan gaya polisi sebagai penjaga malam, tidak boleh polisi daerah tersebut bergaya petugas sosial. Demikian kebalikannya, jika warga lebih berharap polisi adalah penengah dan menjamin ketertiban ketimbang ‘hitam putih’ maka polisi harus bergaya sebagai order maintenance ketimbang legalistik.


Sumber: kuspriyadi95pt.blogspot.co.id

Biografi Jenderal Tito Karnavian

Jenderal Pol Drs H M Tito Karnavian, MA, PhD, lahir di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia pada 26 Oktober 1964 (umur 51 tahun) adalah seorang perwira Polri yang saat ini menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT).
Image result for tito karnavianTito lulus Akademi Kepolisian pada 1987 lalu. Tito tercatat sebagai penerima bintang Adhi Makayasa sebagai lulusan Akpol terbaik Angkatan 1987 dan orang pertama yang telah mampu menembus pangkat jenderal bintang dua dalam angkatannya, saat menjabat Kapolda Metro Jaya.
Lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1987 itu telah meniti sejumlah karir cemerlang di lingkungan Polri.
Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 2001, saat itu Tito yang memimpin Tim Kobra berhasil menangkap Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto yang merupakan putra mantan Presiden Soeharto dalam kasus pembunuhan hakim agung Syafiudin.
Karirnya pun melaju pesat saat Tito bergabung dengan tim yang berhasil membongkar jaringan teroris pimpinan Noordin M Top.
Tito Karnavian yang saat itu berpangkat Kombes kemudian naik pangkat menjadi Brigjen Pol dan naik jabatan menjadi Kepala Densus 88 Anti Teror.
Tito juga termasuk polisi yang mendapat kenaikan pangkat luar biasa saat tergabung dalam tim Bareskrim, yang berhasil melumpuhkan teroris Dr Azhari dan kelompoknya di Batu, Malang, Jawa Timur pada 9 November 2005.
Lalu pada 7 November 2005, Tito, yang masih menjabat Kapolres Serang, dihubungi oleh Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara agar bersiap-siap ke Poso, Sulawesi Tengah.
Pukul 02.30 dinihari, Tito langsung berangkat menuju Bandara Soekarno-Hatta. Padahal ia baru kelar terlibat operasi pelacakan gembong teroris Doktor Azhari, yang berperan dalam peledakan Bom Bali II.
Oleh Makbul, Tito diminta membantu pelacakan mutilasi tiga orang siswa di Poso.
Jauh sebelumnya, ketika masih menjadi Kepala Satuan Reserse Umum Polda Metro Jaya, suami Tri Suswati itu sudah memimpin pencarian buron kasus Badan Urusan Logistik (Bulog), Soewondo.
Tim yang hanya beranggotakan empat orang itu, pada Oktober 2000 menciduk Soewondo yang telah menjadi buron selama 5 bulan.
Berkarier di kepolisian dari 1987, Tito sempat memimpin Polres Serang pada 2005, dari 2004 sampai 2010, Tito menghabiskan waktunya di Detasemen Khusus Antiteror 88.
Ia juga pernah menjadi Deputi Penindakan di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Sejak Bom Bali I sampai serangan teroris Thamrin 2016, nama Tito selalu ada dalam pengungkapan kasus terorisme.
Salah satu prestasi doktor lulusan Nanyang Technological University pada November 2005 ini adalah saat dia berhasil menumpas Doktor Azhari di Malang.
Keberhasilan itu diganjar dengan kenaikan pangkat, dari Ajun Komisaris Besar Polisi jadi Komisaris Besar Polisi.
Sekarang, setelah Juni 2015 menjadi Kapolda Metro Jaya, Tito kembali "benar-benar" menggeluti pemberantasan terorisme.
Ia dilantik Presiden Joko Widodo sebagai menjadi Kepala BNPTpada Rabu, 16 Maret 2016. Bintang di pundaknya pun bertambah menjadi tiga.
Adapun pendidikan yang pernah diselesaikannya diantaranya di Universitas Exeter di Inggris tahun 1993 dengan meraih gelar MA dalam bidang Police Studies, dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) di Jakarta tahun 1996 dengan meraih Strata 1 dalam bidang “Police Studies” dan mendapatkan Bintang Wiyata Cendekia sebagai lulusan terbaik PTIK.
Di samping itu di Tahun 1998 Tito Karnavian juga menyelesaikan pendidikan di Massey University Auckland di Selandia Baru dalam bidang Strategic Studies.
Dan juga mengikuti pendidikan di Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, tahun 2008 sebagai kandidat PhD dalam bidang Strategic Studies serta menyelesaikan PhDnya dengan nilai excellent.
Berikut Riwayat Jabatan yang pernah dijabatnya :
Ø Perwira Samapta Polres Metro Jakarta Pusat (1987)
Ø Kanit Jatanras Reserse Polres Metro Jakarta Pusat (1987-1991)
Ø Wakapolsek Metro Senen Polres Metro Jakarta Pusat (1991-1992)
Ø Wakapolsek Metro Sawah Besar Polres Metro Jakarta Pusat
Ø Spri Kapolda Metro Jaya (1996)
Ø Kapolsek Metro Cempaka Putih Polres Metro Jakarta Pusat (1996-1997)
Ø Spri Kapolri (1997-1999)
Ø Kasat Serse Ekonomi Reserse Polda Metro Jaya (1999-2000)
Ø Kasat Serse Umum Reserse Polda Metro Jaya (2000-2002)
Ø Kasat Serse Tipiter Reserse Polda Sulawesi Selatan (2002)
Ø Koorsespri Kapolda Metro Jaya (2002-2003)
Ø Kasat Serse Keamanan Negara Reserse Polda Metro Jaya (2003-2005)
Ø Kaden 88 Anti Teror Polda Metro Jaya (2004-2005)
Ø Kapolres Serang Polda Banten (2005)
Ø Kasubden Bantuan Densus 88 Anti Teror Polri (2005)
Ø Kasubden Penindak Densus 88 Anti Teror Polri (2006)
Ø Kasubden Intelijen Densus 88 Anti Teror Polri (2006-2009)
Ø Kadensus 88 Anti Teror Polri (2009-2010)
Ø Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) (2011-21 September 2012)
Ø Kapolda Papua (21 September 2012-16 Juli 2014)
Ø Asrena Polri (16 Juli 2014-5 Juni 2015)
Ø Kapolda Metro Jaya (5 Juni 2015-2016). 
Ø Kepala BNPT (16 Maret 2016 – 13 Juli 2016)
Ø Kapolri (13 Juli 2016).

Konflik Di Indonesia



 Yang pertama terjadi di kabupaten Sambas.Kalimantan BaratItu terjadi pada bulan Januari dan Februari 1997. Koran-koran memberitakan bahwa penduduk asli dayak  mulai menyerang pendatang Maduradi rumah-rumah mereka di kota kecil sanggau ledo, kemudian bergerak ke kota-kota kecil di sekitar kabupaten itu, sehingga membuat puluhan ribu orang lari menyelamatkan diri. Masyarakat Indonesia tersentak. Kekerasan kolektif antar warga Indonesia mengenai identitas komunal belum pernah terjadi sebelumnya. Atau lebih tepat lagi, hal itu tidak membekas dalam kesadaran public sampai sehebat itu, sebab pada bulan-bulan sebelumnya telah terjadi huru-hara dengan sasaran orang-orang Kristen dan cina di jawa. Yang satu ini terjadi dengan skala yang jauh lebih besar. Kekerasan sepihak itu berlangsung selama berminggu-minggu, dan merambah sampai ke beberapa kabupaten.
Pertumpahan darah itu sendiri sudah sangat meresahkan, tetapi ada hal yang lebih menggelisahkan. Kejadian itu sangat tidak terduga. Hal itu membuat rata-rata pikiran masyarakat Indonesia terperangah, karena mereka tidak memiliki penjelasan sama sekali. Masyarakat Indonesia sudah lama mengenal kekerasan di tiga tempat yang terpencil di Negeri mereka, aceh, papua dan timor timur. Meskipun sebagian besar tertutup bagi para wartawan, masyarakat tahu bahwa sentiment pemisahan diri menjadi pendorong gerakan resistensi gerilya di sana, dan bahwa militer Indonesia telah membunuh banyak orang dalam operasi-operasi penumpasan pemberontakan tersebut. Negara sebagai sumber kekerasan: ini mudah dipahami bagi pejabat-pejabat rezim maupun para aktivis hak-hak asasi manusia.
Dua tahun setelah peristiwa Sambas, pecah pertempuran antara orang-orang muslim dan orang Kristen di Ambon, pusat urban terbesar di timur makasar. Ini jauh lebih menyakitkan bagi public Indonesia. Dahulu Ambon adalah kota pelabuhan yang ramai dan tidak dapat dibayangkan berubah menjadi medanpertempuran. Terlebih lagi, ini adalah era Reformasi. Presiden Soeharto telah mengundurkan diri pada bulan mei sebelumnya di tengah-tengah demonstrasi besar-besaran. Hari demi hari dipenuhi dengan pembaharuan-pembaharuan di setiap sector. Peristiwa Ambon adalah pukulan terberat bagi optimism yang mengikuti berakhirnya Orde baru yang otoriter. Peristiwa itu juga bukan disebabkan oleh sesuatu kebudayaan kesukuan yang primitive. Sebagaimana banyak orang ibu kota memandang orang-orang Dayak dengan perasaan benci, melainkan melibatkan dua agama yang sama-sama di anut oleh masyarakat Indonesia. Meskipun begitu, kolom-kolom opini tidak menyodorkan banyak jawaban yang demokratis, meskipun opini-opini yang tidak demokratis tumbuh menjamur dalam pers sectarian.
Pada saat yang hampir bersamaan, akhir tahun 1998 dan awal 1999, pertempuran komunal juga meledak di dua tempat yang berbeda. Di kabupaten Sambas, Kalimantan barat, kekerasan kembali meletus, di daerah yang agak berbeda tetapi sekali lagi mengakibatkan penggusuran terhadap orang-orang Madura, kali ini dipicu oleh penduduk asli melayu. Dan di poso, sebuah kota kecil di Kalimantan tengah, kekerasan meledak antara orang-orang muslim dan Kristen. Kabar buruk itu tak berhenti sampai disitu. Setahun kemudian, pada akhir 1999, ketegangan yang memuncak meledak di Maluku utara yang melibatkan berbagai macam medan, antara muslim dengan keisten, dan antara muslim dengan muslim yang lainnya. Kemudian kekerasan terjadi di Kalimantan tengah dengan pola yang mirip dengan Kalimantan barat. Penduduk asli dayak memnyerang para pendatang Madura di kota pelabuhan sampit pada bulan februari 2001, kemudian bergerak ke seantero provinsi sambil mengusiri orang-orang Madura.
Lalu peristiwa konflik di Solo. Sebelum terjadinya peristiwa kerusuhan di solo, tercatat puluhan konflik melanda kota bengawan tersebut. Disebutkan dari sejak jaman “geger pecinan” atau robohnya keraton kartasura sampai tejadinya kerusuhan mei pada tahun 1998. Solo sebenarnya merupakan salah satu kota pedalaman Jawa yang relatif maju. Benturan politik, salah satu faktor utama, telah muncul sejak abad ke-16, yakni pada masa Sultan Pajang, Mataram. Konflik itu terjadi antara kelompok pribumi dan Cina menyangkut penguasaan tanah perkebunan. Pada era kolonial, konflik makin banyak terjadi karena Solo merupakan pertemuan pasukan kerajaan (dan kolonial) dengan pemberontak. Semua pemberontakan dalam Kerajaan Mataram berawal dari Solo, termasuk misalnya pemberontakan Diponegoro. Entah kenapa kota solo tampaknya selalu menjadi pelopor gerakan anti etnis cina sejak berabad yang lalu. Kota solo yang selalu dikenang dengan bermartabatnya serta kehalusan yang dimiliki masyarakat solo sebagai salah satu pusat kebudayaan jawa, ternyata memiliki sejarah yang agak kelam. Sebuah peristiwa kerusuhan yang sangat besar pun mampu terjadi di solo. Seolah-olah solo menjadi ladang sebuah radikalisasi.
Pada hari Kamis pada tanggal 14 Mei 1998, ribuan mahasiswa UMS menggelar demo keprihatinan atas tewasnya Mozes dan tragedi Trisakti. Kekerasan terjadi setelah ada batu melayang kearah demonstran disusul dengan terjadinya hujan batu. Ribuan demonstran akhirnya berlari mundur ke kampus UMS. Smentara yang lainnya membalas lontaran gas air mata dengan lemparan batu. Bentrokan akhirnya tidak dapat dihindarkan lagi. Dua mahasiswa anggota tim negosiasi yang tak ikut lari ke kampus akhirnya menjadi bulan-bulanan oleh sejumlah oknum aparat keamanan. Puncak kemarahan massa terjadi saat insiden aparat menginjak-injak seorang demonstran yang tergeletak tak berdaya ditengah jalan. Massaberteriak mengecam tindakan itu. Itulah awal mula kejadian peristiwa kerusuhan mei kelabu yang menghancurkan dan menghanguskan kota solo. Kepulan asap hitam menyelimuti ruang kota. Si jago merah melalap puluhan bangunan kokoh pusat perbelanjaan. Pemilik toko panik histeris. Mereka tak bisa menyelamatkan harta benda, justru yang “menyelamatkan” adalah penjarah. Bunyi sirine kendaraan militer meraung-raung menghalau perusuh. Suasana benar-benar mencekam. Sementara warga kampung berwajah tegang berjaga-jaga di mulut gang. Seperti pada waktu-waktu lalu, etnis Cina menjadi korban empuk kerusuhan.
Dari fenomena-fenomena yang nampak pada berbagai kerusuhan, perusakan, penjarahan, pembakaran rumah-rumah, toko-toko dan perusahaan-perusahaan selalu dialamatkan pada milik etnis keturunan Cina. Dari sekian etnis yang ada di kota-kota di Indonesia khususnya Jawa Tengah, etnis keturunan Cina-lah yang sering menjadi sasaran amuk massa dari warga pribumi. Tragedi yang terakhir adalah tanggal 13 – 15 Mei 1998, di mana kota Jakarta dan Surakarta terjadi kerusuhan, penjarahan, pengrusakan dan pembakaran rumah, toko, mobil perusahaan yang hampir seluruhnya milik warga etnis keturunan Cina.
 
Setiap konflik komunal memakan banyak korban ratusan atau ribuan orang mati dan puluhan atau ratusan tergusur. Setiap konflik menyebar luas antara seantero kabupaten atau seantero provinsi. Dan tiap-tiap konflik bersifat komunal antara kelompok-kelompok dalam masyarakat mengikuti garis-garis asal usul etnis atau agama, tidak secara eksplisit tentang kelas, dan tidak menentang Negara. Kekerasan komunal menuntut korban lebih besar daripada kekerasan tipe lain manapun dalam periode itu melebihi kekerasan pemisahan diri, melebihi pula kekerasan sosial, jauh lebih besar daripada huru-hara lokasi tunggal local dari tahun-tahun terakhir orde baru.
Yang membedakan kekerasan pasca orde baru adalah bahwa masalah-masalah kelas dan bangsa indonesia praktis tidak ada dan pertarungan hampir sepenuhnya berdasarkan identitas-identitas komunal. Inilah yang mengguncang public Indonesia, yang sebelumnya percaya betul bahwa menjadi orang Indonesia tidak banyak berkaitan dengan etnisitas atau agama. Kesimpulan apa yang bisa kita ambil dari pemaparan diatas? Yakni tentang konflik komunal, wacana public Indonesia beredar di seputar istilah “disintegrasi”. Istilah it uterus di dengung dengungkan selama masa itu, tetapi kemudian mengabur menjelang akhir 2001. Pada waktu itu sebagian besar dari pertarungan komunal itu telah berakhir, dan seorang presiden baru telah dipilih, yaitu Megawati Soekarno Putri, yang luas di pandang sebagai pemimpin yang akan memulihkan ketertiban. Istilah itu tidak hanya mengisyaratkan bahwa kesepakatan politis yang disebut Indonesia itu tengah berantakan, tetapi begitu pula ikatan-ikatan sosial biasa diantara orang-orang yang saling bertetangga. Istilah lain yang ditemui adalah “pancasila”, ideology semi sekuler yang agak banal dan yang sering didengung-dengungkan oleh orde baru. Frekuensinya menurun secara drastic setelah tahun 1998, yang mengisyaratkan adanya krisis dalam nasionalisme “resmi”.
Dari sini dapat diketahui bahwa kekerasan atau konflik komunal dapat terjadi dengan bagaimanapun situasinya dan dimanapun tempatnya, adalah akibat disintegrasi tersebut, yang telah mengakibatkan perpecahan di berbagai sector atau sendi masyarakat yang banyak dianggap “tenang-tenang saja”. Disintegrasi tersebut dapat timbul akibat banyak hal, seperti perbedaan hak dan kepentingan, perebutan lahan, saling mengklaim tanah, kepentingan kelompok, ketidak pahaman dengan kelompok lain, terjadi diskomunikasi dan lain sebagainya. Yang semua hal itu seharusnya bisa ditangani sendiri oleh masyarakat yang bersangkutan dan juga hendaknya ada pengawasan ketat oleh pemerintah, tetapi pada kenyataannya itu semua tidak dapat menghandle atau mengatasi permasalahan yang ada. Masyarakatnya yang cenderung temperamental, egoism tinggi dan tidak menjunjung integrasi dan permusyawaratan menjadi salah satu factor pemicu konflik tersebut, terlebih control dan kebijakan dari pemerintah yang banyak tidak mendukung demi terjadinya integrasi tersebut. Maka disini perlu adanya semacam pengawal berupa knowledge atau pemahaman akan point-point integrasi itu sendiri yang salah satunya adalah pemahaman atau pengetahuan keindonesiaan, yang kiranya akan membangun dan membentuk kembali wacana dan semangat persatuan yang selama ini telah hilang entah kemana. 
Salah satu tokoh dengan pemikiran teori konflik adalah Lewis Coser, Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, yang dapat memberi peran positif, atau fungsi positif, dalam masyarakat. Pandangan teori Coser pada dasarnya usaha untuk menjembatani teori fungsional dan teori konflik, hal itu terlihat dari fokus perhatiannya terhadap fungsi integratif konflik dalam sistem sosial. Coser sepakat pada fungsi konflik sosial dalam sistem sosial, lebih khususnya dalam hubungannya pada kelembagaan yang kaku, perkembangan teknis, dan produktivitas, dan kemudian konsern pada hubungan antara konflik dan perubahan sosial.
Coser memberikan perhatian terhadap asal muasal konflik sosial, sama seperti pendapat Simmel, bahwa ada keagresifan atau bermusuhan dalam diri orang, dan dia memperhatikan bahwa dalam hubungan intim dan tertutup, antara cinta dan rasa benci hadir. Sehingga masyarakat akan selalu mengalami situasi konflik Karena itu Coser membedakan dua tipe dasar koflik (Wallace&Wolf, 1986: 124), yang realistik dan non realistik. Coser sendiri banyak dipengaruhi oleh George Simmel. Simmel dan Coser adalah orang realis yang melihat konflik dan integrasi sebagai dua sisi saling memperkuat atau memperlemah satu sama lain.
Konflik realistik memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material, seperti sengketa sumber ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber sengketa itu, dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik akan segera diatasi dengan baik. Konflik non realistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, konflik ini seperti konflik antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya. Antara konflik yang pertama dan kedua, konflik yang non realistik lah cenderung sulit untuk menemukan solusi konflik atau sulitnya mencapai konsensus dan perdamaian. Bagi Coser sangat memungkinkan bahwa konflik melahirkan kedua tipe ini sekaligus dalam situasi konflik yang sama.

sumber: Internet

Minggu, 11 September 2016

Biografi Jenderal Pol Anton Sujarwo


Mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) 1983-1986. Sebelum menjabat Kapolri, putra bangsa kelahiran Bandung, 21 September 1930, ini secara berturut-turut menjabat Kapolda Kalimantan Barat (1975-1977), Kapolda Sumatera Utara (1977-1978) dan Kapolda Metro Jaya (1979-1983). Dia wafat dalam usia 58 tahun pada Senin siang 18 April 1988 di di Rumah Sakit Polri Kramat Jati Jakarta Timur, setelah dirawat 45 hari karena menderita komplikasi beberapa penyakit.




Dalam pengabdiannya, Jenderal  polisi ini telah menerima 17 penghargaan (tanda jasa), di antaranya: Kesatria Tamtama RI, 
pahlawan Gerilya, SL. Perang Kemerdekaan I & II, Satya Lencana (SL) G.O.M. III s/d VI, Bintang Bhayangkara I & II, SL. Kemerdekaan 45, SL. Bhakti Karya, SL. Kesetiaaan 24 Tahun, SL. Satya Dharma, SL. Yana Utama, SL. Prasetya Panca Karsa, SL. Sapta Marga, SL. Wira Dharma, SL. Penegak, SL. Dwidya Sistha, dan Bintang Maha Putra.


Meniti karir mulai dari Staf Dit. Lantas di Pare, Kepala polisi Palopo, Sul-Sel (1954), Ajudan Kepala Kepolisian Negara (1956), Kepala Polisi Lalu Lintas, Makassar (1956), Anggota Biro Organisasi Bagian Hubungan Luar Mabes Polri (1957), Dan Kompi 5995 Rangers Brimob, Jakarta (1959), Sekolah Ranger di Amerika (Tidak selesai), Tugas Pembebasan Irian Barat, Danyon 32 Menpor, Jakarta (1962), Dan Menpor, Jakarta (1964), Dan KP-3, Tanjungpriok (1971), Dan Resor 102, Malang (1972), Kapolwil Malang (1972-1974) dan Kapus Brimob (1974-1975).

Sejak kecil ia sudah bercita-cita menjadi polisi. Maka setelah menyelesaikan pendidikan SD di Cilacap (1945), SMP di Purworejo (1949) dan SMA di Magelang (1952), Anton masuk Sekolah Inspektur Polisi di Sukabumi dan lulus 1954.

Dia juga mengikuti Pendidikan Rangers SPMB, Porong (1960), Sekolah Infanteri Officer Orientation, Fort Benning, AS (1961) dan Susbanhan (1965). Kemudian mengikuti Pendidikan Para Dasar, Margahayu (1967) dan Seskoak RC IV di Lembang (1968) serta Pendidikan Jump Master, Sukabumi (1969).

Saat mulai menjabat Kapolri, instansi itu baru mendapat wewenang dan tanggung jawab sebagai penyidik tunggal sesuai dengan hukum acara pidana (KUHAP). Dia pun menata arah pembangunan organisasi jangka panjang Polri, menuju postur polisi yang terampil, tangguh, tanggap, berwibawa, dicintai rakyat, dan mampu melaksanakan tugasnya.

Kemduian dilakukan reorganisasi Polri, Juni 1985. Organisasi staf umum diubah menjadi direktorat. Reorganisasi ini juga dimaksudkan membenahi penampilan polisi agar tidak berpenampilan seperti militer.

Anton berusaha keras mengubah citra polisi. Dia menindak sejumlah polisi yang menyalahgunakan wewenang pada saat bertugas.

Selain memusatkan perhatian dan kegiatan pada tugas sebagai polisi, Anton juga menyelinginya dengan hobi naik sepeda motor dan memelihara berbagai jenis hewan, antara lain, burung perkutut, beo, cucakrawa, jalak, nuri, beo, sampai burung dara, juga kuda, sapi perah, anjing dobberman dan kodok serta tikus putih.

Dia juga masih menyempatkan waktu mengurus bola voli sebagai ketua umum organisasi bola voli (PBVSI). e-ti/tsl, dari berbagai sumber, di antaranya Polda Metro Jaya dan PDAT

© ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Sabtu, 10 September 2016

Langkah Membuat Situs Web Anda Menjadi Mesin Penghasil Uang

Coba bayangkan alangkah nikmatnya kalau anda bisa memiliki mesin penghasil uang. Anda tinggal duduk santai sambil menikmati teh hangat, dan mesin uang anda yang bekerja.
Jangan hanya mimpi! Jika serius, anda bisa memiliki bisnis seperti itu. Agar anda bisa mencapainya, saya tunjukkan caranya. Berikut 10 langkah menyulap situs web anda menjadi mesin penghasil uang.
  1. Temukan produk yang tepat. Kesempatan tadi bisa anda raih jika mengikuti sistem affiliate program. Anda bisa buat produk sendiri di bidang yang anda suka. Jika tidak, anda bisa sebagai reseller produk yang sudah terbukti sukses.
  2. Dapatkan web hosting dan domain. Untuk membuat situs web, anda harus memiliki web hosting dan domain. Banyak pilihan yang tersedia dengan biaya terjangkau. Anda bisa cari dengan mengetikkan “domain hosting” di search engine. Silakan baca panduan memilih web hosting berkualitas dan memilih nama domain yang memikat.
 

Buku Tamu

Recent posting

Recent comment