Cocokkah Pemolisian Komuniti Diterapkan di Indonesia?
Sebelum pertanyaan diatas dijawab harus diketahui lebih dahulu apa dan bagaimana pemolisian Komuniti. Robert R. Friedmann menyatakan bahwa definisi program pemolisian komuniti mengacu kepada unsur-unsur yang berbeda sehingga tidak mudah menghasilkan diskripsi tunggal. Untuk itu, diusulkan olehnya untuk melihat program community policing dari tiga perspektif, yaitu dari kepolisian, community dan keduanya (Friedmann, 1992).
Dari perspektif kepolisan, dirasakan ada suatu kebutuhan yang semakin besar untuk meningkatkan hubungan dengan msyarakat dengn tujuan:
a) Memanfaatkn berbagai sumberdaya maysarakat untuk membantu upaya mencegah kejahtan dan mengurangi tingkat kecemasan masyarakat terhadap kejahatan.
b) Memperkuat basis bagi dinas reserse.
c) Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi.
Dari perspektif masyarakat, semakin disadari bahwa mereka butuh dan layak mendapaktkan:
a) Layanan yang lebih baik dari aparat kepolisian.
b) Akuntabilitas kepolisian yanglebih handal.
c) Peran yang lebih besar dalam pengambilan keputusan di bidang keamanan.3. Dari perspektif kepolisian maupun masyarakat, terdapat asumsi bahwa program community policing didasari anggapan bahwa:
a) Kejahatan terjadi akibat faktor-faktor sosial yang relatif tidak terlalu dikuasai oleh pihak kepolisian.
b) Kebutuhan pencegahan kejahatan perlu dipusatkan kepada faktor-faktor sosial penyebab kejahatan.
c) Sikap proaktif perlu dikembangkan untuk menggantikan kebijakan kepolisian yang bersifat reaktif.
d) Diperlukan prasyarat berupa penerapan desentralisasi wewenang pada kebijakan kepolisian yang berwawasan sosial.
e) Perlu lebih mentitikberatkan pada isu kualitas hidup daripada isu tradisional berupa isu keja dan kecemasan terhadap kejahatan.
f) Hak asasi dan kebebasan individu merupakan pertimbangan yang sangat esensial dalam kebijakan kepolisian yang demokratis.
Dengan ketiga cara pandang diatas, Friedmann berusaha untuk merumuskan pengertian Community Policing ke dalam suatu batasan yang bermanfaat dan dapat digunakan yaitu suatu kebijakan dan strategi yang bertujuan agar dapat mencegah terjadinya kejahatan secara lebih efektif dan efesien, mengurangi kecemasan terhadap kejahatan, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kualitas pelayanan polisi dan kepercayaan terhadap polisi, dalam jalinan kerjasama proaktif dengan memberdayakan masyarakat yang ingin mengubah kondisi-kondisi penyebab kejahatan. Hal itu berarti diperlukan adanya kepolisian yang lebih handal, peran masyarakat yang lebih besar dalam pengambilan keputusan, dan perhatian yang besar terhadap hak asasi dan kebebasan individu.
Selain di atas, Trojanowicz dan Bucqueroux (Kratcoski, 1995) menyatakan bahwa Community Policing merupakan pembaharuan besar yang pertama dalam kepolisian sejak aparat kepolisian menganut prinsip manajemen ilmiah lebih dari setengah abad yang lalu. Hal ini merupakan perubahan yang cucup drastis dalam konteks interaksi polisi dengan masyarakat, sebuah falsafah baru yang memperluas misi kepolisian dari yang semula cenderung hanya terfokus pada kriminalitas berubah menjadi kewajiban yang mendorong kepolisian untuk mendayagunakan solusi kreatif bagi berbagai persoalan dalam masyarakat termasuk kriminalitas, kecemasan masyarakat, ketidaktertiban, dan terganggunya kerukunan warga. Community Policing bersandar kepada kepercayaan masyarakat bahwa hanya dengan bekerja bersamalah masyarakat dan polisi akan mampu meningkatkan mutu kehidupan di dalam masyarakat, polisi diharapkan untuk tidak hanya berperan sebagai aparat penegak hukum tetapi juga sebagai penasehat, fasilitator, dan pendukung gagasan baru, dengan basis masyarakat serta disupervisi oleh polisi.
Community policing didasarkan pada kerjasama masyarakat dan kesamaan posisi dalam memecahkan masalah di komuniti tersebut. Hal tersebut pada gilirannya akan memuaskan kebutuhan yang diungkapkan masyarakat, yang berarti pula meningkatkan kualitas hidup warga. Peranan petugas community policing sama dengan peranan seorang ahli sosial, sebagai fasilitator dan katalis dari kegiatan pemecahan masalah. Melalui edukasi diri dan edukasi warga, petugas berperan sebgai expert dan pendidik peran tanpa memaksakan peran tersebut.
Petugas membantu warga dengan secara rutin mengadakan pertemuan secara individu dan kelompok.
Dengan komunikasi tersebut akan melahirkan beberapa konsensus tindakan yang diterima dan dilaksanakan oleh warga. Pertimbangan utama dalam community policing adalah warga memberi definisi masalah yang harus dipecahkan, warga terlibat dalam perencanaan dan pengimplementasian giat pemecahan masalah. Didalam buku understanding community policing yang dibuat oleh US Departement of Justice (1994) disebutkan pula bahwa pondasi strategi community policing yang berhasil adalah hubugan yang erat dan saling menguntungkan antara polisi dengan anggota masyarakat. Community policing terdiri dari dua komponen inti yang saling melengkapi yaitu, kemitraan dengan masyarakat dan pemecahan masalah.
Untuk mengembangkan kemitraan dengan masyarakat, polisi harus menjalin hubungan yang positif dengan warga, harus melibatkan warga setempat dalam usaha untuk pegendalian dan pencegahan kejahatan yang lebih baik, dan harus menyatukan sumberdaya mereka dengan sumberdaya masyarakat untuk menangani hal yang paling memprihatinkan bagi warga masyarakat. Pemecahan masalah adalah suatu proses identifikasi masalah yang dihadapi warga dan dilakukan pemecahan yang paling tepat.
Terlepas dari kelebihan-kelebihanya, pemolisian komuniti bukannya tanpa masalah atau kekurangan, terlebih bila dikaitkan dengan segala karakteristik dan permasalahan yang dimiliki oleh negara Indonesia. Kekurangan-kekurangan tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, kemitraan dengan warga dan pemecahan masalah bersama membutuhkan suatu kewenangan diskresional yang penuh dan gaya manajemen yang fleksibel. Oleh karena itu, pengimplementasian pemolisian komuniti mengharuskan organisasi polisi memberikan kebebasan individu petugas dalam mengambil keputusan dengan berbekal pengetahuannya sendiri. Asumsinya adalah petugas lebih tahu dan paham apa keinginan komuniti yang ada di wilayah tugasnya. Ini berarti dibutuhkan suatu komado yang desentralisasi bentuk organisasi kepolisian. Jadi sungguh ironis bila disatu sisi Polri berusaha keras dan mati-matian menerapkan gaya pemolisian berorientasi komuniti tetapi disisi lain tetap ‘keukeuh’ menyatakan sebagai polisi nasional. Kepolisian nasional jelas menempatkan satuan di bawahnya sebagai kepanjangan tangan dari satuan atas. Dalam konteks tersebut maka satuan bawah dilarang mengambil suatu keputusan yang berlainan dengan kebijakan satuan pusat. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan standart operation procedure yang ketat harus dilaksanakan seragam.
Kondisi paradoks seperti diatas terlihat sekali pada kasus kebijakan tiga belas sasaran yang ditetapkan Kapolri. Dengan kebijakan tersebut, seluruh satuan di jajaran dan personelnya telah menempatkan ketigabelas sasaran menjadi tindak pidana yang utama harus diberantas. Padahal, pemolisian komuniti haruslah menempatkan pengidentifikasian dan pemecahan masalah pada interpretasi komuniti. Komuniti harus diberikan kebebasan berdasarkan nilai-nilai khas komuniti untuk menetapkan apa yang menjadi masalah di daerah tersebut termasuk tentang bagaimana cara penanganannya. Di wilayah Polres Metro Jakarta Barat misalnya, kebijakan untuk menutup dan meniadakan judi, menjadikan demonstrasi dan resistensi warga. Mereka tidak habis pikir mengapa Polri mengerahkan seluruh sumberdaya untuk memberantas judi di wilayah tersebut yang sebenarnya tidak pernah merasa terganggu dengan adanya judi. Terlepas bahwa ada pihak disana yang memang tidak suka judi, sangat banyak warga Jakarta Barat yang menggantungkan hidupnya dari hiruk pikuk hiburan antara lain permainan-permainan yang dapat dikategorikan judi. Dalam konteks ini Polres Metro Jakarta Barat tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka tidak ada pilihan untuk menolak karena perintah dari Mabes Polri adalah memberantas segala bentuk perjudian tanpa kecuali. Jelas terlihat memang bentuk organisasi kepolisian adalah sentralisitik tanpa berhasrat sedikitpun untuk menampung aspirasi dari wilayah.
Fenomena di atas merupakan salah satu contoh bahwa desentralisasi kebijakan yang harus ada pada suatu pemolisian komuniti tidak dapat dilaksanakan oleh Polri. Dengan begitu, implementasi Community Policing menjadi tidak optimal atau mungkin memang tidak berjalan.
Masalah kedua terkait dengan pengetahuan dan kemampuan yang harus dimilik oleh setiap petugas pembina kamtibmas. Untuk membangun kemitraan dengan warga komuniti dimana ia bertugas, petugas harus menjalin raport atau kredibilitas kerja yang baik. Kepercayaan warga terhadap petugas sangat dipengaruhi oleh prilaku dan sifat mental dari petugas. Untuk itulah dibutuhkan selain petugas yang mempunyai penampilan menarik, bermoral serta berwatak terpuji. Selain itu, agar dia dapat dijadikan anutan dan tempat bertanya warga tentang segala hal terkait dengan keamanan, maka petugas haruslah sudah berpengalaman dan berpengetahuan memandai sesuai dengan warga di komunitinya. Sesuatu yang mustahil bila warga komuniti rata-rata berpendidikan strata satu, petugas bin kamtibmas hanya lulusan sekolah menengah atas misalnya. Contoh menarik adanya polisi kampus yang dilakukan Polres Depok. Ketika petugas bin kamtibmas harus mengajak warga kampus untuk bersama-sama memikirkan pencegahan kejahatan di kampus UI, terjadi kesenjangan pengetahuan antara petugas yang hanya berpendidikan SMA dengan para warganya yang notabenenya adalah para dosen-dosen yang berpendidikan minimal S2.
Dengan demikian penting untuk diperhatikan bahwa agar petugas pemolisian komuniti dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka diperlukan suatu kemampuan dan kualifikasi tertentu yang disesuaikan dengan karakteristik warga komuniti dimana ia ditugaskan. Dalam poin tersebut Polri dirasa tidak mampu menyediakannya. Disamping kondisi penyaringan dan pendidikan Polri yang carut marut, juga belum adanya suatu analisa jabatan (job analisys) yang memadai. Ironisnya justru biasanya petugas pembina kamtibmas adalah bintara-bintara yang sudah tidak dapat digunakan di satuan fungsinya.
Masalah ketiga, masih terkait dengan masalah kedua yaitu pembinaan karir petugas. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa kata kunci pemolisian komuniti adalah kemitraan dan pemecahan masalah bersama warga. Untuk dapat melaksanakan kata kunci tersebut dibutuhkan rasa percaya warga. Untuk membangun rasa percaya tersebut diperlukan waktu yang tidak sebentar. Dengan kata lain, penugasan petugas di suatu komuniti haruslah ajeg dan tidak singkat. Petugas pemolisian komuniti butuh waktu untuk dikenal dan dipercaya oleh warga. Dalam konteks Indonesia, Polri sulit untuk mewujudkannya terkait dengan pembinaan karir personel tersebut. Jenjang kepangkatan yang bersifat mirip militer dan bersifat struktural mengharuskan petugas tidak boleh berlama-lama di suatu tempat penugasan. Akibatnya petugas sulit untuk membangun kepercayaan warga. Kepercayaan yang tidak terbangun menghasilkan pelaksanaan pemolisian komuniti tidak optimal.
Masalah keempat berkaitan dengan pelaksanaan tugas petugas pemolisian komuniti yang tidak ‘macho’. Di dalam subkultur polisi berkembang suatu nilai-nilai yang bisa jadi berbeda dengan sub kultur diluar Polri. Nilai-nilai tersebut dikenalkan dan dikembangkan dalam proses sosialisasi dan relatif diinternalisasikan dengan baik pada diri setiap individu polisi. Nilai yang relatif dominan adalah bahwa polisi ‘macho’. Di dalam setiap benak polisi di hati kecilnya mengakui bahwa kerja polisi idealnya adalah pembela kebenaran dengan cara memberantas kejahatan. Polisi yang ideal adalah polisi yang berani melindungi kaum lemah dari kebringasan dan kebrutalan penjahat. Oleh karena itu didalam realitas sosial pada sub kultur polisi berkembang suatu keinginan menjadi polisi ‘macho’.
Paradoks dengan hal diatas, justru pemolisian komuniti mengharuskan petugasnya melakukan tindakan antisipatif dan pencegahan. Pada konteks tersebut, petugas lebih bersifat lunak dan cenderung menjadi pelayan warga dalam mengatasi masalah-masalah gangguan sosial. Kondisi ini tentunya berbeda dengan realitas sosial yang dikembangkan dalam subkultur polisi tentang tindakan ‘jantan’. Posisi yang berseberangan antara pemolisian komuniti dan budaya polisi tersebut menjadikan posisi petugas polmas menjadi tidak populer dan cenderung dihindari. Kalau pun yang dipilih adalah mereka yang mempunyai track record kerja yang baik, namun pada akhirnya mereka akan merasa sebagai kelompok personil yang bermasalah dan dibuang ke bagian polaksana pemolisian komunity. Akhirnya, polisi-polisi yang ‘cacat’ atau “merasa cacat” tersebut tidak akan pernah melaksanakan tugasnya dengan maksimal.
Masalah kelima. Secara universal, pemolisian komuniti mengandung kelemahan yang substantif yaitu berkaitan dengan terlalu lamanya hasil yang diperoleh dibanding gaya pemolisian konvensional. Bahkan, ukuran gaya pemolisian komuniti sukar ditetapkan, sehingga keberhasilannya cenderung tidak diketahui. Disisi lain, pimpinan organisasi kepolisian berharap banyak kebijakan yang diambil mendapatkan hasil segera dan jelas. Karena dengan keberhasilan yang segera dan jelas, maka diharapkan akan berpengaruh terhadap karir mereka. Dan dalam organisasi Polri sendiri tidak pernah ada ketentuan yang jelas tentang masa jabatan anggota Polri dalam suatu organisasi. Kesenjangan tersebut membuat para pemimpin Polri cenderung dalam pelaksanannya kembali menggunakan pemolisian lama yang konvensional. Sebagaimana yang diutarakan oleh kriminolog Meliala (2005), bahwa :
Dalam situasi dimana lama masa jabatan bisa jadi tidak menentu, kadangkala tiga tahun, dua tahun, atau bisa juga kurang dari setahun, maka yang ada di benak para perwira Polri adalah bagaimana memperoleh quick wins (hasil cepat) melakaukan breakthrough (terobosan) atau mencatat achievement (capaian). Sementara itu community policing hanya menjanjikan perkembangan lambat, reformatif, substansial, taat proses jelas tidak menguntungkan dan melawan arus. Kata orang “kelamaan nunggunya”. Begitu sudah ada hasil eh..harus pindah..yang dapat prestasi orang lain (pejabat baru)” (Meliala, 2005).
Indikator yang utama terletak pada perhatian para pimpinan kepolisian didaerah kepada fungsi represif seperti Reserse. Bagi mereka, keberhasilan fungsi reserse dalam mengungkap suatu kejadian pidana jauh lebih signifikan nilainya bagi prestis dan karir. Oleh karena itu wajarlah bila pemolisian komuniti hanya bingar di wacana tetapi implementasinya polisi tetap cenderung menggunakan pemolisian pemadam kebakaran.
Masih terkait dengan masalah diatas, karena polisi cenderung berorientasi pada hasil yang segera dan jelas maka pendekatan legalistik menjadi pendekatan utama dalam mengahadapi suatu bentuk gangguan. Padahal, konsep pemolisian komuniti mengharuskan polisi lebih mengedepankan pendekatan social crime prevention ketimbang legalistik.
Masalah keenam lebih bersifat universal dan merupakan kendala yang dihadapi hampir semua negara dalam mengetrapkan pemolisian komuniti. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa community policing berupaya mencegah kejahatan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup warga. Cara-cara yang dilakukan pemolisian jenis ini bersifat sosial dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan rasa aman dan kepuasan warga. Oleh karena itu tidaklah mungkin dapat dilakukan hanya oleh polisi. Pada proses pemolisian tersebut harus terlibat juga komponen-komponen lain termasuk institusi atau lembaga-lembaga sosial di dalamnya. Untuk itulah diperlukan kerjasama yang sinergis agar secara simultan berkerja membangun jaringan sosial yang dapat menunjang kualitas hidup warga. Komponen sosial yang terlibat misalnya dari pemerintah desa dan kecamatan, aparat departemen sosial, pengaturan jalan dan lain-lain. Jadi kata kuncinya adalah kordinasi dan kerjasama dalam kerangka interrelasi bukan kompetisi. Hal tersebut pada prakteknya sulit terjadi. Akhirnya, nuansa persaingan dan saling menonjolkan diri masing-masing dan bahkan saling menjatuhkan pihak lain menjadi lebih kental.
Dalam konteks Indonesia, permasalah diatas menjadi semakin komplek dengan adanya peran teritorial militer. Ketidak laziman ini mengakibatkan makin rumitnya implementasi Community policing di lapangan. Militer terlalu merasa dirinya bertanggung jawab atas seluruh keselamatan negara ini. Karena itu militer merasa dapat masuk dan mengani semua permasalah yang ada di Negara ini. Di lapangan, petugas community policing sering dianggap pesaing militer (babinsa). Karena itulah yang terjadi akhirnya buka sinergi tetapi konflik dan saling menonjolkan diri. Jadi, nuansa militer dan carut marutnya kordinasi antar instansi di Indonesia membuat pemolisian komuniti menjadi tidak efektif.
Masalah ketujuh juga bersifat universal dan merupakan kendala di hampir negara. Community policing yang berorientasi pada masyarakat bertitik tumpu pada kebersamaan warga dan polisi dalam mengidentifikasi masalah dan memecahkannya. Keantusiasan petugas dalam menjalankan community policing akan cenderung mempenetrasi segala urusan warga. Hal tersebut tidak berbeda dengan turut campur tangannya petugas dalam urusan privasi warga. Karena itu, bisa terjadi suatu kondisi dimana kebebasan pribadi dalam beraktifitas menjadi terganggu akibat praktek community policing. Kondisi tersebut sama dengan proses pembusukan demokrasi dan kebebasan. Terlebih lagi, bila petugas terafiliasi pada kepentingan-kepentingan tertentu, dimana dirinya mengemban misi sponsor dalam menjalankan community policing.
Masalah kedelapan adalah tidak semua kalangan masyarakat dapat, mampu, mau atau memiliki kapasitas berinteraksi dengan kepolisian. Community policing cenderung tidak jalan dalam masyarakat yang memiliki keragaman yang tinggi, yang rendah kemampuan sosio ekonominya, serta memiliki sejarah hubungan dengan kepolisian yang “kelam”. Di Indonesia, Polri telah 32 tahun bersifat paramiliter dengan tradisi militer yang relatif kental. Telah 32 tahun pula polisi hanya menjadi kepanjangan tangan penguasa dan pemolisiannya pun dilakukan dengan tujuan melindungi kepentingan penguasa. Dengan bahasa mudah, Polri telah banyak menyakiti hati rakyat. Persepsi masyarakat terhadap Polri tersebut menjadi barier psikologis dalam membangun rasa percaya warga terhadap polisi. Walaupun bisa dikurangi tetapi membutuhkan waktu lama dan konsistensi prima dari Polri. Pertanyaannya adalah mampukah Polri konsisten dalam pengetrapan community policing?.
Rekomendasi
Melihat berbagai kendala dan permasalahan yang kompleks dalam pengetrapan atau implementasi community policing di Indonesia, maka Polri perlu mengkaji ulang pemolisiannya. Gaya community policing harus lebih dilihat sebagai suatu filosofi atau landasan substansi suatu pemolisian bukannya suatu program pemolisian. Oleh karena itu, community policing harus dipandang sebagai suatu rentangan atau kontinum. Polri harus mencari derajat yang cocok diantara rentangan tersebut. Proses pencariannya tentunya harus berdasarkan suatu riset ilmiah bukan coba-coba. Hasil tersebut kemudian dimintakan justifikasi legal dan sosial melalui mekanisme yang berlaku.
Selain itu, community policing harus dipandang sebagai suatu seni bukanlah struktur program baku. Artinya, didalam implementasinya setiap kepolian daerah sampai sektor dapat memodifikasi dan berinovasi menemukan metode teknis pengimplementasian community policing. Hampir sama dengan paragraf diatas, gaya pemolisian suatu komuniti harus bertumpu pada keinginan warga dengan karakteristik khas komuniti. Jadi ketika suatu komuniti berkeinginan dan merasa nyaman dengan gaya polisi sebagai penjaga malam, tidak boleh polisi daerah tersebut bergaya petugas sosial. Demikian kebalikannya, jika warga lebih berharap polisi adalah penengah dan menjamin ketertiban ketimbang ‘hitam putih’ maka polisi harus bergaya sebagai order maintenance ketimbang legalistik.
Sumber: kuspriyadi95pt.blogspot.co.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar